Kamis 07 Feb 2019 09:21 WIB

Mencari Akar Masalah Penyebab Ratusan Perwira TNI Nonjob

Sejumlah solusi ditawarkan agar masalah perwira TNI 'nganggur' bisa diatasi.

Rep: Ronggo Astungkoro/Erik Purnama Putra/Febrianto Adi Saputro/ Red: Muhammad Hafil
Ilustrasi prajurit TNI
Foto: Antara
Ilustrasi prajurit TNI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perpanjangan usia pensiun prajurit TNI disebut menjadi penyebab utama adanya 500-an perwira TNI yang nonjob atau 'menganggur' saat ini. Penyebab lainnya, yakni perubahan tersebut tidak dibarengi dengan perbaikan sistem kenaikan pangkat.

"Karena Undang-Undang (UU) No. 34/2004 itu kan ada perpanjangan usia pensiun, nambah tiga tahun, tapi tidak dilakukan (penyesuaian) pada sistem kenaikan pangkat. Mestinya diikuti," ujar Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Sisriadi, Rabu (6/2).

Menurutnya, sistem pembinaan karier jika diumpamakan sebagai perubahan gelombang, merupakan gelombang longitudinal. Saat Republika.co.id menemui Sisriadi di ruangannya pada Senin (4/2) lalu, ia mengaku telah meramalkan akan terjadinya situasi yang saat ini terjadi saat dia masih berpangkat letnan kolonel.

"Jadi waktu itu saya bilang, tahun 2010 akan lebih sekian orang, 2011 sekian orang. Sudah saya tulis itu dan tidak banyak meleset angka itu karena memang statistik, saya gunakan rumus peramalan," jelasnya.

Ketika itu, kata dia, akan adanya surplus perwira bukan menjadi hal yang dianggap begitu penting karena dianggap hanya lebih sedikit. Tapi, kini menjadi masalah yang cukup ramai dibicarakan karena setiap tahunnya jumlah yang berlebih itu terus menumpuk.

"Orang jadi kaget setelah sekarang ini kan, 'wah banyak.' Padahal ketika itu juga nambahnya tidak ujug-ujug segini. Setiap tahun nambah, loh sudah banyak," terangnya.

Mantan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat itu juga mengaku pernah menganggur satu tahun sehabis mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI. Ia menjadi angkatan pertama yang menganggur kala itu.

"Saya kelompok pertama yang nganggur tahun 2009-2010. Saya nganggur satu tahun dan saya pendahulu. Ngeramal sendiri dan alami sendiri," jelas dia.

photo
Prajurit TNI melaksanakan Latihan Bantuan Tembakan Terpadu 2018 di Pusat Latihan Tempur Marinir Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, Rabu (28/11).

Sementara, hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan mandeknya gerbong promosi di lingkungan TNI sudah terjadi pada pertengahan tahun 2000-an. Rencana memasukkan perwira tanpa jabatan ke kementerian disebut sebagai solusi "penambal".

"Penelitian kami memang menunjukkan persoalan mandeknya gerbong promosi sudah terjadi pertengahan tahun 2000-an, hingga kini, dan masih akan terus berlangsung," ujar peneliti CSIS, Evan Laksmana, kepada Republika.co.id melalui pesan singkat, Kamis (7/2).

Menurut Evan, rencana memasukkan perwira TNI yang tanpa jabatan ke kementerian adalah solusi "penambal" jangka pendek, bukan solusi jangka panjang. Ia menerangkan, kebijakan serupa sebenarnya sudah diteraplan sejak era 2000-an.

"Meski dalam jumlah yang tidak besar dan kebanyakan masih ke kementerian-kementerian yang terkait pertahanan dan keamanan," jelas dia.

Solusi

Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan, DPR dan institusi pemerintah yang lainnya juga jangan sampai membiarkan TNI kesulitan sendiri mencari jalan keluar. Mereka harus turut membantu mencarikan jalan keluar dari persoalan ini. Menurut Kiki, tak ada salahnya juga jika purnawirawan TNI turut diajak berdiskusi untuk membahas hal tersebut.

"Karena tidak bisa hanya mengatakan ini mau kembali lagi ke kekaryaan atau dwifungsi. Jadi harus sama-sama jalan untuk memecahkannya," tutur dia belum lama ini.

Kiki menjelaskan, ketika dulu banyak anggota TNI yang ditarik dari kekaryaan, salah satu solusinya adalah menambah jumlah jabatan staf ahli maupun asisten. Mereka yang ditarik dari kekaryaan ditempatkan dalam wadah itu di struktur TNI.

"Jadi tidak menganggur. Mereka bekerja sampai masa pensiunnya berakhir. Jadi terselesaikan dalam jangka waktu paling lama lima tahunlah," jelasnya.

Sementara, CSIS menawarkan beberapa solusi terkait permasalahan ini. Peneliti CSIS, Evan Laksmana mengatakan, Pertama, TNI bisa melakukan perombakan kebijakan personel dan promosi agar lebih transparan dan merit-based. Kedua, bisa dengan pengurangan jumlah dan peningkatan kualitas lulusan akademi militet dan sekolah staf dan komando (sesko) angkatan.

Selain itu, lanjut Evan, bisa juga dengan melakukan perombakan kebijakan pensiun dini, termasuk penerapan kebijakam "up or out". Kebijakan tersebut berarti, dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai pangka letnan kolonel dan kolonel yang bila tidak tercapai maka yang bersangkutan harus masuk pensiun dini.

"Evaluasi lima tahunan untuk karir dan kontrak juga bisa dipertimbangkan," ujar dia.

Solusi yang ditawarkan berikutnya, yakni peningkatan kualitas dan pelebaran kesempatan pendidikan sipil bagi perwira menengah yang menginginkannya. Hal tersebut diikuti oleh dinaikkannya “nilai” pendidikan sipil bagi jenjang kepangkatan.

Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha mengatakan,  gagasan penempatan perwira TNI di kementerian menjadi momentum untuk merevisi secara keseluruhan UU TNI. Pasalnya sejumlah lembaga sipil seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), dan Badan Nasional Penanggulangan  Terorisme (BNPT) tidak diatur di dalam Pasal 47 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, sehingga militer aktif diperbolehkan menempat lembaga sipil tersebut.

Oleh karena itu jika nantinya gagasan tersebut diseriusi, ia berharap revisi UU juga akan membahas terkait kejelasan posisi militer aktif yang menempati beberapa lembaga tersebut. "Agar lembaga-lembaga tersebut di atas punya dudukan hukum," kata Satya.

Politikus Partai Golkar tersebut menilai yang paling penting saat ini yaitu membenahi dasar hukumnya. Menurutnya TNI harus konsisten terhadap doktrin reformasi TNI. "Harus dicari rumusan agar peran TNI tetap sebagaimana reformasi TNI," ujarnya.

Sampai saat ini DPR mengaku belum menerima ide dan gagasan Panglima terkait rencana tersebut. Namun Ia meyakini jika revisi undang-undang tersebut merupakan inisiatif pemerintah maka revisi UU TNI tersebut bisa selesai sebelum masa jabatan anggota DPR periode berakhir.

"Bisa saja (selesai cepat) asalkan ini inisiatif pemerintah, kalau initiatif DPR saya tidak yakin," ujarnya.

Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, persoalan 500-an perwira menengah (pamen) TNI dari tiga matra yang nonjob sedang diusahakan dicarikan jalan keluarnya. Menurut Hadi, solusi masalah itu adalah dengan melakukan penataan organisasi baru.

Hadi mencontohkan, jabatan Inspektorat Kostrad yang saat ini dijabat Brigjen atau bintang satu akan dinaikkan menjadi bintang dua atau berpangkat Mayjen. Otomatis bawahan Inspektorat Kostrad yang dulunya berpangkat Kolonel bisa naik menjadi Brigjen.

Pun dengan status Korem tipe B yang saat ini komandannya dijabat Kolonel, akan dinaikkan menjadi tipe A dengan komandannya berpangkat Brigjen. Sehingga, jabatan asisten Komandan Korem yang sebelumnya Letkol bisa diisi Kolonel. Adapun, Korem tipe A saat ini membawahi wilayah terluar dan perbatasan dengan negara tetangga Indonesia.

photo
Sejumlah penerbang tempur dan ground crew berbincang di dekat deretan Pesawat Tempur F-16 usai upa pemberangkatan dan kesiapan pasukan Pesawat Tempur F-16 beserta crew yang akan berangkat ke Australia mengikuti latihan tempur multinasional, di Lanud Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur, Selasa (24/7).

Hadi menuturkan, dengan simulasi peningkatan organisasi TNI tersebut, setidaknya bisa menyerap 60 perwira tinggi (pati) baru berpangkat Brigjen dan Mayjen. Adapun kalau ditotal keseluruhan, setidaknya ada 150 sampai 200 Kolonel bisa mengisi jabatan baru dari sekarang yang berstatus nonjob.

"Jadi dengan adanya peluang meningkatkan kelas, seperti Korem, Kolonel menjadi bintang 1, meningkatkan kelas dari asisten Kostrad dari Kolonel menjadi bintang 1 kemudian meningkatkan kelas dari Inspektorat Kostrad dari bintang 1, bintang 2 maka secara otomatis akan diikuti oleh organisasi atau satuan-satuan dibawahnya," ujar Hadi seusai Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 2019 di Mabes TNI Cilangkap, Rabu (31/1).

Hadir dalam Rapim itu, yaitu KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, KSAU Marsekal Yuyu Sutisna, dan seluruh Pangkotama TNI dari tiga matra.

Hadi mengakui, dengan cara itu masih ada mayoritas Kolonel yang belum memiliki jabatan, yang mayoritas berasal dari matra Angkatan Darat (AD). Salah satu solusi lain yang dilakukan adalah pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dan Komando Khusus (Kopsus)  yang bisa menampung jabatan pati.

Pihaknya juga sedang merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47 agar pamen dan pati TNI bisa berdinas di lembaga negara. "Kita menginginkan bahwa lembaga/kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu eselon dua tentunya akan juga menyerap pada eselon eselon di bawahnya sehingga Kolonel bisa masuk di sana," kata mantan Irjen Kemenhan tersebut.

Hadi menambahkan, agar pamen TNI bisa menduduki jabatan di kementerian, tentu harus menunggu aturan. Dia pun berharap, langkah-langkah itu akan bisa mengurangi masalah ratusan pamen yang sekarang tidak memiliki jabatan.

"Tapi ini masih harus menunggu revisi Undang-Undang 34 Tahun 2004 yang jelas untuk perubahan kelas itu kita hanya mengeluarkan Perpres karena sudah ada Keppres-nya, paling tidak sudah akan berkurang dari 500 yang disampaikan tadi bisa sampai 150 sampai 200 (Kolonel), mudah-mudahan," kata Hadi.

Baca juga:  Bahaya Minum Air Sambil Berdiri

Baca juga: Ketika Paus Fransiskus Disambut Meriah di Tanah Arab

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement