REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Kementerian Perhubungan menetapkan tarif tinggi dalam aturan baru ojek daring dinilai berpotensi menimbulkan "blunder" bagi pemerintah. Tarif yang tinggi akan menggerus elektabilitas pejawat karena dikhawatirkan berdampak pada penurunan jumlah konsumen secara signifikan sehingga ikut menurunkan jumlah order di kalangan mitra (pengemudi).
"Kalau banyak konsumen meninggalkan ojek daring, ini bisa membahayakan industri digitalnya dan akhirnya berimbas juga terhadap mitra pengemudi yang sepi order. Ini sangat merugikan bagi petahana," kata pengamat ekonomi digital dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi kepada pers di Jakarta, Rabu (6/2).
Regulasi yang ditargetkan rampung pada Maret tahun ini, kata Faisal, sudah menjadi perbincangan umum bahwa rencana itu merupakan strategi petahana meraup suara dari para pengemudi. Hal ini karena mereka dianggap cukup signifikan dan solid untuk memberikan dukungan suara.
"Padahal jumlah konsumen jelas lebih banyak ketimbang jumlah mitra pengemudi transportasi daring," kata Faisal.
Terlebih, Presiden Joko Widodo menyempatkan diri menghadiri silaturahmi nasional dengan para mitra Go-Jek dan Grab di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, pada pertengahan Januari lalu. Saat itu Kepala Negara pun mengatakan kenaikan tarif ojek daring yang terlalu tinggi bisa merugikan industri digital karena berpotensi menurunkan jumlah konsumen.
Hanya saja, kata Faisal, Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan tentang ojek daring justru akan mematok tarif minimum sebesar Rp 3.100. Nilai ini dua kali lipat dari tarif sekarang.
Saat ini, Grab menerapkan tarif Rp1.200 per kilometer, adapun Gojek memberikan Rp1.600 untuk para mitranya.
"Elektabilitas pejawat akan terancam kalau Menteri Perhubungan tetap ngotot menetapkan tarif tinggi dan akhirnya berdampak ke konsumen, mitra pengemudi dan industri digitalnya. Dampaknya ganda karena sektor logistik dan UMKM juga akan terpengaruh" ujar dia.
Salah Interpretasi
Faisal menilai, bisa jadi Kementerian Perhubungan telah salah mengintepretasikan apa yang dimaksud Presiden Joko Widodo untuk memperhatikan kesejahteraan pengemudi. Karena itu, dia mengusulkan sebelum menentukan besaran nilai tarif yang nantinya akan diterima pengemudi, semestinya pemerintah juga mempertimbangkan perspektif konsumen.
Faisal menilai kesejahteraan pengemudi belum tentu otomatis akan lebih baik dengan adanya kenaikan tarif tersebut. Apalagi jika konsumen justru bereaksi negatif dengan memutuskan meninggalkan layanan ojek daring.
Dia berpesan sebaiknya pemerintah mengkaji kembali rencana peraturan menteri tersebut agar tak salah langkah karena besar kemungkinan silang pendapat bila aturan tersebut terlanjur disahkan. "Kalau saya jadi pejawat, lebih baik menghindari hal-hal yang bisa memicu kontroversi di waktu yang begitu dekat dengan hari pencoblosan ini," katanya.