Rabu 06 Feb 2019 06:19 WIB

Anies Targetkan 2020 Transportasi Sudah Terintegrasi

Saat ini, integrasi belum berlaku bagi seluruh moda

Rep: Farah Noersativa/Mimi Kartika/Antara/ Red: Bilal Ramadhan
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menargetkan transportasi di DKI Jakarta dapat terintegrasi pada 2020. Pihaknya telah menyusun roadmap atau perencanaan agar semua transportasi bisa dalam satu jaringan yang sama.

“Soal integrasi, ditargetkan 2020 integrasi sudah terjadi di semuanya, semua moda yang berada dalam kendali DKI. Tadi kita menyusun roadmap-nya sehingga semua operator dalam satu jaringan yang sama dan yang tak kalah penting adalah operator-operator itu bisa hidup dengan baik,” jelas Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (4/2).

Dia menegakan, integrasi transportasi bukan hanya berarti transportasinya terintegrasi. Namun dari segi bisnis juga sehat, termasuk supir dan juga perawatan kendaraannya. “Harapannya adalah terintegrasi itu membuat ekosistem hidup dengan baik, sehat secara bisnis, dan bagi masyarakat fasilitasnya sesuai dengan harapan.” kata Anies.

Dalam kesempatan itu pula, Anies menyebut pihaknya telah selesai membahas persiapan pengoperasian kereta Moda Raya Terpadu (MRT). Dia memastikan, pada Maret mendatang, kereta itu akan digunakan untuk umum. Namun, dia masih belum mau menjelaskan perihal tarif kereta MRT. “Belum (ada update tarif),” kata dia.

Pengamat transportasi dari Universitas Soegijapranata, Djoko Setijowarno menilai, integrasi transportasi umum di Jakarta belum optimal. Menurut dia, transportasi umum yang terintegrasi minimal harus mencakup tiga hal yang saat ini belum dipenuhi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI.

"Integrasi itu kan minimal integrasi fisik, integrasi jadwal, integrasi sistem pembayaran, minimal itu," ujar Djoko saat dihubungi Republika, Selasa (5/2).

Ia mencontohkan, integrasi fisik antara stasiun kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Sudirman terlalu jauh dengan halte Transjakarta Dukuh Atas. Sehingga, menurut dia, para penumpang melanjutkan perjalanannya menggunakan ojek daring.

Hal itu justru menimbulkan kemacetan karena para pengemudi ojek yang menunggu penumpang. Ia mengatakan, ketika integrasi fisik terlaksana seharusnya penumpang langsung mendapatkan akses secara mudah menjangkau moda transportasi umum lainnya.

Kemudian ia mengatakan, jadwal keberangkatan transportasi umum harus juga terintegrasi. Djoko menjelaskan, agar para penumpang tak menghabiskan waktu lama dalam satu perjalanan. Kedatangan kereta di suatu stasiun diatur agar dengan jadwal keberangkatan bus atau armada lainnya yang mengantarkan penumpang dalam jarak dekat.

Lalu dalam hal integrasi sistem pembayaran, menurut Djoko, saat ini di DKI hanya sebatas satu kartu bisa di-tap di lebih dari satu moda transportasi umum. Akan tetapi, belum sampai kepada satu tarif pembayaran yang berlaku bagi antarmoda.

Ia membandingkan dengan kota di luar negeri seperti Paris. Djoko memaparkan, di kota itu setiap penumpang hanya butuh satu kartu dengan satu kali pembayaran yang bisa dipilih pengguna secara harian, mingguan, dan bulanan.

Para pengguna jasa layanan transportasi umum di Paris, lanjut dia, bisa bebas menggunakan bebagai moda. Akan tetapi, jika diterapkan di Jakarta, menurut dia hal itu membutuhkan perencanaan yang matang. Sebab, salah satu faktor tantangannya, operator pengelola moda transportasi umum di DKI berbeda-beda.

"Itu yang disebut benar-benar pembayaran terintegrasi, baru sebatas saya pakai e-money bisa tapping kemana pun bisa belum besaran tarif. Kalau di kita agak susah, operatornya beda-beda," tutur Djoko.

Ia juga mengkritik atas penerapan konsep transit oriented development (TOD) yang dilakukan di sejumlah titik di Jabodetabek. Ia menilai hal tersebut masih salah kaprah dan kurang sesuai.

Djoko memaparkan, TOD yang sebenarnya adalah konsep pengembangan suatu wilayah yang berorientasi transit transportasi yang lebih mengedepankan perpindahan antarmoda transportasi dengan berjalan kaki atau upaya yang tidak menggunakan kendaraan bermotor. Namun di Indonesia, menurut dia, konsep TOD lebih diterjemahkan dalam membangun apartemen dan gedung bisnis di stasiun kereta. Kendali TOD juga di pemerintah pusat atau pemda, bukan swasta.

Ia berpendapat bahwa pada saat ini di Jabodetabek, pemerintah hanya berperan dalam pemberian izin bangunan saja. Djoko juga menyoroti mengapa TOD diterjemahkan dengan perlunya ada ruang parkir untuk memfasilitasi kendaraan pribadi warga.

Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Sudaryatmo mengatakan, untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum perlunya konektivitas atau jaringan antara moda angkutan umum lainnya. Ia menjelaskan, seharusnya Pemprov DKI menyediakan angkutan umum paling tidak dapat melayani masyarakat dari rumah hingga ke tempat kerja.

Sebab, lanjut Sudaryatmo, saat ini transportasi umum termasuk Transjakarta belum menjawab kebutuhan tersebut. Sehingga, dalam hal ini Pemprov DKI perlu menambah jaringan untuk menghubungkan angkutan umum yang satu dengan lainnya.

"Kebutuhan konsumen itu kan point to point, angkutan umum termasuk Transjakarta belum menjawab kebutuhan itu," kata Sudaryatmo.

Sudaryatmo berharap, program Jak Lingko dapat menjawab kebutuhan konektivitas itu. Sebab, Jak Lingko bisa mewujudkan konektivitas antarmoda transportasi dengan dilakukannya rerouting atau perubahan rute. Hal itu untuk efisiensi pemanfaatan jalan dan manajemen lalu lintas.

"Memang perpindahan pengguna mobil pribadi itu efektif ke angkutan umum, itu tadi kalau konektivitas jaringan angkutan umum itu sesuai kebutuhan konsumen," jelas Sudaryatmo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement