REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi Syarif Hidayat, mengatakan transaksi tunai dengan nominal yang tinggi merupakan salah satu pemicu tingginya tindak pidana suap dan korupsi. Ia mengungkapkan hal tersebut setelah berkaca dari kasus-kasus operasi tangkap tangan (OTT).
"Kenapa saya katakan begitu, karena dalam setiap operasi tangkap tangan, yang ditangkap selalu transaksi tunai dengan nominal yang besar," jelas Syarif ketika memberikan paparan dalam seminar nasional yang digelar di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional Jakarta, Sabtu.
Syarif kemudian menceritakan salah satu kasus tangkap tangan seorang pejabat. KPK menemukan bahwa sebagian besar uang yang dimiliki pejabat tersebut tidak disimpan di bank, namun disimpan dalam ruangan khusus bersama dengan sejumlah logam mulia.
Mengambil data PPATK, Syarif mengatakan sepanjang 2018 terdapat lebih dari 15 ribu arus uang yang mencurigakan. Ia pun memandang penting diberlakukannya pembatasan nominal transaksi tunai.
"Karena tindak pidana melalui transaksi non-tunai saja berani dilakukan, apalagi transaksi tunai yang minim pengawasan," kata Syarif.
Syarif kemudian mengatakan KPK sudah meminta pemerintah untuk tegas dalam pemberlakuan aturan mengenai pembatasan nominal transaksi tunai, namun belum ditindaklanjuti dengan lebih serius. KPK sudah sejak lama meminta DPR untuk segera mengesahkan undang undang yang mengatur nominal transaksi tunai, namun hingga saat ini belum disahkan.
"Terakhir PPATK mengusulkan supaya maksimal transaksi tunai nominalnya hanya Rp100 juta, namun tetap belum disetujui oleh DPR," kata Syarif.