Kamis 31 Jan 2019 15:56 WIB

Kenangan Kakek dan Pesantren: Saya Ini NU?

Kalau nanti untuk jadi imam shalat harus NU, maka saya bilang kakek saya NU.

Kakek dan nenek dosen UIN Akhmad Danial.
Foto: Akhmad Danial
Kakek dan nenek dosen UIN Akhmad Danial.

Oleh: Akhmad Danial, Dosen UIN Jakarta

Kakek dan Nenek saya NU. Orang tua nenek saya bahkan punya "pesantren" kecil di Cibeber, Banten sana. Cuma bangunan beberapa kamar saja untuk beberapa gelintir santri. Sekarang beliau sudah tidak ada.

Ke mana-mana beliau sarungan dan pakai kopiah hitam, bahkan saat membawa saya belanja ke pasar. Mirip Kyai Ma'ruf Amin itulah. Suatu saat, saya ingat, ada tamu datang ke rumah, memakai kopiah hitam. Beliau menyuruh saya mencium tangannya dengan sepenuh rasa hormat. "Dia santri," jelas beliau.

Tadinya beliau ingin memasukkan saya ke Pesantren Darurrahman pimpinan KH Syukron Makmun yang juga NU. Tapi pendaftaran keburu sudah tutup. Saya masih 'inget banget', menjelang masuk ke Darunnajah, kakek saya 'ngajarin' saya nulis Al Fatihah karena saya tidak sekolah di madrasah. Kata beliau buat bekal bila ikut tes masuk. 

Akhirnya beliau memasukkan saya ke Pesantren Darunnajah yang sistemnya merujuk ke Gontor. Di Gontor, memang kyai saya, KH Mahrus Amin, dekat dengan KH Hasyim Muzadi meski beliau juga dekat dengan tokoh Masyumi, M Natsir.

Kyai saya pernah cerita bahwa beliau pernah diledek Gus Dur soal pesantren yang dibinanya itu. "Darunnajah ini gak jelas! NU enggak, Muhammadiyah juga enggak," kata Gus Dur. Alumni pesantren saya memang gak jelas ormasnya.

Seperti alumni Gontor, ada KH Hasyim Muzadi yang NU, ada juga Pak Din Syamsudin yang Nuhammadiyah. Ada Hidayat Nur Wahid yang PKS, ada Ustaz Abu Bakar Ba'asyir yang Islamnya bikin beliau masuk penjara sampai sekarang.

Darunnajah spektrum alumninya juga luas. Ada yg masuk jadi pengurus PB NU, ada yg di Muhammadiyah. Ada juga ustadz Arifin Ilham yang terkenal itu. Namun  ada juga yg Islamnya model Islam Nusantara itu. Di politik, alumninya ada di beragam Parpol, khususnya Parpol Islam. Gak jelas memang...hehehee

Kembali soal kakek, saya menduga beliau meski secara keagamaan NU, tapi condong ke Masyumi. Saya tak pernah menanyakan soal ini, tapi di rumah banyak buku-buku jaman dulu tulisan Mr Syafruddin Prawiranegara atau Mohammad Roem, dan para tokoh Masyumi lainnya. Sejak remaja, saya ikut baca-baca sedikit berbagai buku itu.

Beliau kerja di Departemen Agama dan pasca pensiun mengajar dan jadi khatib Jumat di masjid-masjid sekitar Jakarta. Kyai kampung lah. Sholat pake Qunut dan tahlilan juga. Pokoknya NU ritualnya. Beliau punya kitab-kitab satu lemari, dari kitab tafsir, Al Umm Imam Syafi'i sampai berbagai kitab Aqidah para imam NU.

Tapi beliau langganan Majalah TEMPO juga yang suka saya baca juga sejak remaja. Sekarang, meski jarang baca sampai habis karena tak suka sama ideologi pemberitaannya, saya juga langganan majalah itu. Buat dokumentasi saja dan meneruskan tradisi leluhur.

Loh kok tiba-tiba cerita soal kakek? Ya saya ingin menegaskan saja bahwa kakek saya NU. Karena saya baca beberapa postingan teman bilang kakek saya, ortunya juga NU. Mereka juga NU dan bangga jadi org NU. Saya sendiri merasa akar saya NU, praktik agama NU, tapi apakah saya NU? Saya gak tau.

Dalam perkembangan Islam Indonesia setelah puluhan tahun, telah muncul generasi seperti saya yang berkarakter Post-organisasi. Akar kultur keluarga mereka mungkin NU, Muhammadiyah, Persis, dan sejenisnya, namun akibat pendidikan dan pergaulan, mereka cenderung hybrid.

Generasi ini tidak lagi tahu dan mau tahu, mereka ini NU atau Muhammadiyah tetapi tidak bisa juga 100 persen mengabaikannya karena kuatnya ikatan akar kultur keluarga di mana mereka dibesarkan. Jadi, menganalisis perilaku generasi Muslim seperti ini lewat kacamata ormas keagamaan, tidaklah memadai lagi.

Dari situ saya kira pernyataan Ketua PB NU, KH Said Aqil Siradj saya kira kurang relevan lagi. Kalau suatu saat nanti, hanya orang yang dianggap NU yang berhak jadi imam sholat dan khatib Jumat serta menteri agama, saya akan bilang, "Kakek gue NU !" Saya juga dalam pilpres nanti memang akan memilih Prabowo Sandi, tapi tetap menghormat dan tidak mau mencela NU dan Kyai Ma'ruf.

Namun apapun itu semua, saya hari ini ingin mengucap....

SELAMAT HARLAH NU KE-93 !

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement