Kamis 31 Jan 2019 15:24 WIB

Premi BPJS Diusulkan Naik dan Jenis Penyakit Dibatasi

BPJS juga mempertimbangkan pembagian beban dengan pemerintah daerah.

BPJS Kesehatan.
Foto: ANTARA FOTO
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Fauziah Mursid

JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengusulkan beberapa cara untuk mengatasi defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Salah satu yang di usul kan JK adalah menaikkan premi atau iuran peserta.

"Defisit di BPJS harus ditangani. Kalau Pak Wapres usulannya, satu, pasti naikkin premi, tapi itu juga barangkali belum cukup," kata Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Setwapres, Bambang Widianto, di Kantor Wapres, Rabu (30/1).

Menurut dia, besaran premi saat ini tidak cukup untuk membiayai seluruh tagihan yang harus dibayar BPJS Kesehatan. Tak hanya itu, Bambang menyebut, Wapres JK juga mengusulkan ada pembatasan jenis penyakit yang biayanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Namun, hingga saat ini, usulan tersebut belum pasti terealisasi.

"Lagi digodok sama Menkes. Itu belum final. Permennya sudah keluar, tapi ternyata mesti dibahas lagi," ujar Bambang.

Usulan JK lainnya, lanjut Bambang, agar ada pembagian beban pembiayaan manfaat BPJS Kesehatan atau desentralisasi dengan pemerintah daerah (pemda). JK menilai perlunya BPJS Kesehatan mempertimbangkan pembagian beban, agar tidak semua dibebankan kepada pemerintah pusat. "Jadi, kalau kata Pak Wapres, sudahlah kita kasih saja uangnya semua.

Ini kan ada nih kalau jumlah pesertanya 100 ribu orang dikali 23 ribu, misalnya. Kasih aja semua, tapi kalau kurang, daerah nombokin," ujar dia. Pernyataan itu disampaikan Bambang setelah Wapres JK menerima keluhan Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi soal tagihan obat-obatan yang belum terbayar.

"Dan ini nilainya cukup besar," ujar Ketua Pengurus Pusat GP Farmasi Tirto Kusnadi di Kantor Wapres. Menurut Tirto, nilai obat-obatan dari industri farmasi yang belum dibayar rumah sakit karena tunggakan BPJS Kesehatan mencapai triliunan rupiah. Jumlah tersebut, kata Tirto, belum dibayar hingga jatuh tempo pembayaran.

"Sekarang mungkin ada sekitar Rp 3,6 triliun yang masih belum terbayar dan cukup lama utangnya, ada yang 60 hari, ada yang 90 hari, terus ada juga yang sudah sampai 120 hari belum terbayar," ujar Tirto.

Tirto tidak memerinci nilai tagihan rata-rata satu industri farmasi. Sebab, menurut dia, total tagihan obato-batan tersebut mencakup seluruh gabungan perusahaan farmasi dengan keanggotaan 200 perusahaan farmasi. Sementara, dari badan pusat farmasi, ada 60 yang aktif menyuplai pemerintah dari sekitar 2.000 perusahaan yang ada.

Pemerintah melalui Kemenkeu telah mencairkan dana untuk BPJS Kesehatan sebesar Rp 5,2 triliun. Semua dana tersebut digunakan untuk membayar tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit.

Suntikan dana kali ini merupakan kali kedua. Pada tahap pertama, pemerintah memutuskan menyuntik d na tambahan sebesar Rp 4,9 triliun untuk menambal defisit anggaran tahun 2018. Artinya, sudah Rp 10,1 tri liun digelontorkan dari APBN untuk menambal defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Tirto berharap BPJS Kesehatan segera melunasi tunggakan-tunggakan pembayaran kepada rumah sakit. Sebab, kata dia, pembayaran BPJS Kesehatan yang belum penuh membuat banyak rumah sakit menunda pembayaran tagihan obat kepada indusri farmasi. "Rumah sakit mungkin akan mengutamakan gaji pegawai dulu, jasa medis, untuk lauk-pauk makanan, untuk pendidikan, untuk segala macam, baru sisanya mungkin dibaya kan ke industri farmasi," ujar Tirto.

Dia mencontohkan, suntikan dana kepada BPJS Kesehatan pada 2018 yang dianggarkan dari APBN dengan total Rp 10,25 triliun, hanya 6-10 persen yang terbayar ke farmasi. Tirto pun menyebut industri farmasi tidak bisa mendesak rumah sakit dan hanya bisa menunggu BPJS Kesehatan membayar rumah sakit. Hal ini karena industri farmasi hanya sebagai co-provider BPJS, bukan sebagai penyedia layanan (provider) langsung BPJS Kesehatan.

"Sulitnya industri farmasi ataupun PBF ini adalah sebagai co-provider. Jadi, kita suplai ke RS lalu digunakan oleh RS, lalu RS menagih BPJS dibayar, baru akan dibayarkan ke kita," ujar Tirto.

Karena itu, ia berharap pertemuan dengan Wapres hari ini dapat memberi solusi untuk menyelesaikan persoalan tagihan obat-obatan farmasi agar tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan industri farmasi. "Kita sudah sampaikan ke Pak Wapres dengan harapan ada suatu yang bisa dibantu untuk ini bisa diselesaikan," ujar Tirto. ¦ ed: mas alamil huda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement