REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Trisno Rahardjo mengatakan pelaku kasus prostitusi dalam jaringan (daring) paling memungkinkan dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Paling memungkinkan memakai UU ITE, meski tidak langsung berbicara tentang prostitusi online," kata Trisno di Yogyakarta, Selasa (29/1).
Menurut Trisno, pelaku kasus prostitusi dalam jaringan bisa dijerat dengan UU ITE karena di dalamnya menyangkut aspek penyebaran konten-konten pornografi. Pasal 27 ayat 1 UU ITE, menurut dia, jelas melarang orang mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses muatan yang melanggar kesusilaan.
Meski demikian, menurut dia, UU tersebut memang belum bisa langsung menyentuh kasus prostitusinya. Ia mencontohkan dalam kasus prostitusi dalam jaringan yang melibatkan artis VA, penetapan tersangka VA bukan berdasar pada kasus prostitusinya. Artis tersebut dijadikan tersangka karena melakukan kegiatan pendistribusian gambar atau foto yang melanggar kesusilaan.
"Dalam kasus artis itu sebagai pemberi jasa kemudian hanya bisa dijerat dengan UU ITE bukan karena melakukan prostitusi online-nya," kata dia.
Ia mengatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), setiap kasus pidana harus dapat didefinisikan secara rigit. Sedangkan terminologi prostitusi online masih tergolong baru dan tidak bisa didefinisikan seperti kasus prostitusi pada umumnya.
"Hukum pidana kan harus rigit, perbutan yang dilarang apa harus tegas," kata dia.