REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, pemberantasan korupsi di Indonesia sudah memiliki arah yang tepat tapi berjalan lambat. Penyebabnya karena tidak didukung secara politis.
"Arah sudah benar yaitu naik tapi sepertinya kita kehilangan kecepatan dan kehilangan tenaga karena political environment-nya tidak mendukung," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) TII Dadang Trisasongko di gedung KPK Jakarta, Selasa (29/1).
Dalam acara itu, Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan Corruption Perception Index (CPI) alias Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2018 naik tipis yaitu naik 1 poin dari 37 pada 2017 menjadi 38 pada 2018. IPK Indonesia 2018 mengacu pada 9 survei dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
"Saya menilai, kalau suatu negara mau bersih dari korupsi, maka sehatkanlah demokrasinya. Dari tahun 1998, menurut pengamatan saya, sakitnya demokrasi Indonesia belum sembuh, memang kelihatan demokratis tapi dalam beberapa hal banyak praktik yang perlu dicermati," tambah Dadang.
Ia mencontohkan, pada usia reformasi Indonesia 20 tahun, tren IPK dari 1995 sampai sekarang mengalami pelambatan kenaikan. Dadang mencatat di masing-masing era presiden pasti mengalami stagnasi termasuk pada era Presiden Joko Widodo.
"Pola gerak pertumbuhan skor IPK, sejak reformasi kecenderungannya naik terus tapi stagnan, di zaman Gusdur ada stagnasi selama dua tahun, Megawati tiga tahun, SBY periode pertama ada satu kali penurunan, SBY periode kedua mengalami stagnasi dua kali, dan Jokowi juga stagnasi pada 2016-2017," ungkap Dadan.
Persoalannya, meski pemerintah sudah memperkenalkan sistem elektronik seperti e-procurement (pengadaan elektronik), e-budgeting (penganggaran elektronik) tapi korupsi terus berjalan. "Kita mungkin perlu pendekatan dan baru, kalau pemberdayaan SDA diambil alih oleh mereka yang korup, baik politisi maupun pebisnis maka yang terancam kesejahteraannya adalah publik dan keadilan," tambah Dadang.
Belum lagi menurut data TII, ada 100 orang pengungkap korupsi mendapat serangan sepanjang 2004-2017 dan 46 caleg bekas napi korupsi juga ikut dalam pemilihan legislatif 2019. "Karena itu, rekomendasi kami kubangan korupsi di situ-situ saja yaitu pengadaan, penganggaran dan perizinan, harus ada cara baru untuk mengatasi hal ini. Presiden harus memimpin agar lembaga-lembaga di bawah kewenangannya yaitu kepolisian, kejaksaan, lapas melakukan tindakan penegakan hukum termasuk mewaspadai aktor baru seperti advokat yang menjadi pelicin dalam peradilan yang korup," jelas Dadang.
Sementara, Ketua Dewan Pengurus TII Felia Salim menjelaskan bahwa riset TII menunjukkan tren IPK global 2018 mengkhawatirkan karena kegagalan negara dalam pemberantasan korupsi telah berkontribusi terhadap buruknya demokrasi di penjuru dunia. "Lebih dari 2/3 negara mencatat skor di bawah 50 dari IPK 2018 ini dengan rata-rata di angka 43," kata Felia.
Ada kemajuan beberapa negara yaitu 20 negara seperti Argentina dan Senegal. Namun, tidak sedikit yaitu 16 negara menunjukkan penurunan seperti Australia, Hongaria dan Turki.
"Hal ini menunjukkan hubungan yang erat antara peningkatan korupsi dengan penurunan kesehatan demorasi (democratic institutions and political rights) baik di negara berkembang maupun negara maju, ini tren yang mengkhawatirkan karena mengglobal," ungkap Felia.
Korupsi di daerah terdiri atas korupsi anggaran, korupsi pengadaan, korupsi lisensi yang ditunjang oleh lemahnya penegakan hukum sehingga melanggengkan kolusi antara pemangku kepentingan bisnis dan penentu kebijakan (birokrasi dan legislator) "Ancaman terhadap pemberantasan korupsi dan demokrasi adalah terjadinya 'market failure' karena ada kolusi kepentingan bisnis dan penentu kebijakan yang menyebabkan gap antara masyarakat dan masih banyak ketimpangan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil," tambah Felia.