Selasa 29 Jan 2019 11:07 WIB

Venezuela, Korban Perang Proksi Negara Besar?

Negara-negara Barat dukung oposisi, Rusia-Cina-Turki dukung pemerintah berkuasa.

Ikustrasi krisis Venezuela.
Foto: Reuters
Ikustrasi krisis Venezuela.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Afrizal Rosikhul llmi, Fergi Nadir, Lintar Satria

MELBOURNE -- Dukungan negara-negara barat kian bulat terhadap pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido yang mendeklarasikan diri sebagai presiden menggantikan Nicolas Maduro. Sokongan barat tersebut juga kian membulatkan tekad oposisi merebut kekuasaan.

Pada Senin (28/1), Australia membulatkan keputusan bergabung dengan negara-negara lainnya dalam mendukung Juan Guaido sebagai presiden sementara negara itu sampai pemilihan ulang kembali diadakan. "Australia mengakui dan mendukung Presiden Majelis Nasional Juan Guaido, dalam mengasumsikan posisi presiden sementara, sesuai dengan konstitusi Venezuela dan sampai pemilihan diadakan," kata Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia Marise Payne dalam pernyataan di situs Kemenlu Australia, Senin (28/1).

Guaido (35 tahun) menyatakan diri sebagai presiden sementara pada Rabu (23/1). Pernyataan itu menyusul demonstrasi besar di jalan-jalan tengah kota meminta sosok sentral dari Partai Sosialis Bersatu (PSUV) Nicolas Maduro lengser. Sedikitnya, dua puluh orang dilaporkan tewas dalam demonstrasi pekan tersebut.

Protes tersebut dilakukan menyusul krisis ekonomi yang menyebabkan peningkatan inflasi 1,3 juta persen sejak Maduro naik tampuk pada 2013 lalu. Meski memiliki cadangan minyak mentah terbesar di dunia, kondisi perekonomian di Venezuela tak kunjung membaik sejak pendahulu Maduro, Hugo Chaves, yang sangat anti-AS menjadi presiden pada 1998.

Terlepas dari kondisi tersebut, Maduro keluar sebagai pemenang dalam pemlihan umum (pemilu) yang diadakan pada Mei tahun lalu. Namun, kelompok oposisi yang dipimpin Guaido menilai pemilu sarat dengan kecurangan sehingga memboikotnya. Seusai Maduro dilantik pada 10 Januari 2019, tensi semakin memanas.

Selepas deklarasi Guaido, Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian besar negara Amerika Latin langsung mendukung Guaido sebagai presiden sementara. Dalam debat Dewan Keamanan AS pada Sabtu (26/1), Rusia dan Cina sangat mendukung Maduro dan menolak seruan dari Amerika Serikat, Kanada, negara-negara Amerika Latin, dan kekuatan Eropa untuk pemilihan ulang. Iran dan Turki juga menyatakan dukungan bagi Maduro.

Rusia dan Cina adalah pemberi pinjaman terbesar pada Venezuela. Sejak negara anggota OPEC itu dipimpin Hugo Chavez, Venezuela banyak membeli peralatan militer Rusia, termasuk pesawat jet Sukhoi dan persenjataan berat lainnya.

Persekutuan strategis ini terbukti ketika dua pesawat bomber berkekuatan nuklir Rusia mendarat di Venezuela tahun lalu. Kantor berita Reuters melaporkan, perusahaan militer swasta yang melakukan misi khusus untuk Rusia sudah tiba di Venezuela untuk meningkatkan keamanan Maduro.

Guaido kemarin juga menyatakan terima kasih kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas dukungan negara tersebut. "Tujuh puluh empat tahun yang lalu kamp konsentrasi Auschwitz telah dibebaskan dan hari ini, seperti halnya negara kami, juga berjuang untuk kebebasannya. Kami berterima kasih atas pengakuan dan dukungan dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu," ujar Guaido dalam cicitannya di Twitter, Senin (28/1).

Netanyahu mengumumkan dukungannya kepada Guaido sebagai presiden sementara Venezuela pada Ahad (27/1) dalam sebuah pesan yang direkam dari kantornya. Israel mengakui, Guaido sebagai presiden sementara Venezuela.

Mendapat dukungan dari negara-negara barat, Guaido menyatakan rencananya menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di Caracas pada Rabu pekan ini. Aksi tersebut, kata dia, akan dilanjutkan pada Sabtu (2/2) nanti.

Sebaliknya, Presiden Venezuela Nicolas Maduro juga menggelar pertunjukan kekuatan peralatan dan militer Rusia yang dimiliki pasukan Venezuela. Ia memamerkan kekuatan rudal antipesawat dan tank yang ia miliki menghancurkan lereng bukit untuk menunjukkan kekuatan dan loyalitas militer di hadapan masyarakat internasional yang meminta pemilihan umum ulang.

"Tidak ada orang yang menghargai orang lemah, pengecut, dan pengkhianat, di dunia ini yang dihargai adalah yang berani, punya nyali, kuat," kata Maduro, Senin (28/1).

Didampingi Menteri Pertahanan Vladimir Padrino, Maduro melihat satu peleton tentara menembak sebuah lereng bukit dengan peluncur granat, senapan mesin antipesawat, dan tank. Persenjataan Rusia menghamburkan debu di Fort of Paramacay, pangkalan militer kendaraan lapis baja Venezuela.

Maduro mengatakan, pertunjukan kekuataan militer ini untuk memperlihatkan kepada dunia ia masih didukung militer. Pertunjukan itu juga memperlihatkan tentara nasional Venezuela siap untuk membela negara mereka. Maduro mengatakan, Guaido mengambil bagian dari upaya kudeta yang dilancarkan penasihat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Pertunjukan kekuatan militer ini diiringi peluncuran slogan kampanye Pemerintah Venezuela "Selalu Setia, Tidak Pernah Berkhianat". Sebelumnya, diplomat militer Venezuela di AS membelot dari Maduro dan mendukung Guaido sebagai presiden sementara.

Sementara itu, dari pihak AS, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih John Bolton memberikan peringatan terhadap kekerasan atau intimidasi terhadap diplomat Amerika di Venezuela atau pemimpin oposisi Juan Guaido. Dia mengatakan, tindakan seperti itu akan memicu respons dari Amerika Serikat.

"Setiap kekerasan dan intimidasi terhadap personel diplomatik AS, pemimpin demokrasi Venezuela, Juan Guiado (sic), atau Majelis Nasional itu sendiri akan mewakili serangan besar terhadap supremasi hukum dan akan disambut dengan respons yang signifikan," kata Bolton dalam cicitannya melalui Twitter, Ahad (27/1).

Sejauh ini, Kementerian Luar Negeri RI belum mengambil sisi dalam krisis di Venezuela meski terus mengamati perkembangan di negara tersebut. “Kita menyerukan semua pihak untkuk menahan diri dan tidak mengambil tindakan yang dapat memperburuk situasi,” tertulis dalam pernyataan resmi Kemenlu RI.

Dengan tetap menghormati kedaulatan dan tanpa bermaksud untuk mencampuri urusan dalam negeri Venezuela, Kemenlu RI juga menekankan bahwa sangat penting agar suara rakyat Venezuela untuk didengarkan. “Oleh karena itu, perlu segera dilakukan proses politik yang demokratis, transparan, dan kredibel.”

(Reuters ed: fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement