Senin 28 Jan 2019 06:03 WIB

Perang Besar Bukan di Suriah

Turki memang telah memperluas pendudukannya di wilayah Suriah.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Dalam beberapa tahun terakhir, Suriah menjadi perhatian dunia. Penyebabnya apalagi kalau bukan konflik berkepanjangan, yang menjadikannya sarang teroris ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), mengundang intervensi asing, dan mengakibatkan penderitaan jutaan warganya. Hampir separuh warga Suriah kini bahkan jadi pengungsi.

Posisi geografis Suriah sangat strategis. Ia berada di jantung Timur Tengah, dikelilingi oleh Turki, Irak, Lebanon, Yordania, dan Israel. Karena itu, apa yang sedang terjadi di negeri ini akan sangat berpengaruh pada negara-negara tetangga: keseimbangan kekuatan dan konflik-konflik antarnegara di kawasan, termasuk konflik Israel-Palestina. Banyak kekuatan asing mengincar Suriah.

Seperti beberapa negara Arab lainnya, Suriah pun diterpa aksi unjuk rasa untuk menggulingkan rezim diktator-otoriter. Barat menyebutnya The Arab Spring. Namun, Presiden Bashar Assad bisa bertahan hingga kini. ‘Kedigdayaan’ Assad ternyata justru membuat rakyat Suriah menderita berkepanjangan.

Perang saudara antara kelompok oposisi dan rezim Assad pada awalnya. Lalu muncul kelompok-kelompok radikalis-ekstremis. Sebuah kelompok teroris yang menamakan diri ISIS sempat menguasai wilayah luas di Suriah. Lalu, akibat dari semua itu terjadilah gelombang pengungsian besar-besaran rakyat Suriah, termasuk ke negara-negara Eropa.

Berbagai rentetan peristiwa itu ternyata telah menyebabkan kehadiran berbagai kekuatan asing di Suriah, dengan dalih masing-masing. Keberadaan kekuatan asing awalnya untuk memerangi ISIS. Tapi, ketika ISIS berhasil dihancurkan, tampaklah tujuan sebenarnya dari berbagai kekuatan asing itu.

Banyak pihak meyakini perang besar akan terjadi di bumi Suriah. Apalagi ketika Israel pada Senin lalu mulai melancarkan serangan udara ke basis-basis militer Iran di Suriah. Mereka percaya perang besar ini akan sangat mentukan peta kekuatan dunia, termasuk di kawasan Timur Tengah.

Sebelumnya, Rusia telah melancarkan berbagai serangan militer ke basis-basis oposisi, untuk mendukung kekuasaan rezim Assad. Ada kekhawatiran intervensi besar militer Rusia di Suriah akan memicu krisis yang mirip dengan krisis misil Kuba pada awal 1960-an, ketika Amerika dan Uni Soviet berada di ambang konfrontasi nuklir.

Apakah perang besar benar-benar akan terjadi di Suriah? Sebuah analisa menarik ditulis Ghassan Charbel, kolomnis di media al Sharq al Awsat. Menurutnya, perang besar tidak akan terjadi di Suriah, tapi di tempat lain dan bukan dengan kekuatan militer.

Ia menyatakan, apa yang berlangsung di Suriah sangat rumit dan ruwet. Yang terkuat dalam perang belum tentu yang paling mampu melakukan rekonstruksi. Belum lagi perbedaan kepentingan antara kekuatan-kekuatan asing dan mitra dalam negeri Suriah.

Begitu pula logika ketika terjadi konflik akan sangat berbeda dengan saat damai. Dan, lebih penting dari itu semua, dalam sejarah bangsa Suriah mereka tidak pernah bisa menerima — dan apalagi setia — terhadap keberadaan asing.

Tentu tidak bisa dipungkiri bahwa krisis Suriah telah memberi peluang kepada Presiden Vladimir Putin untuk unjuk diri, bahwa Rusia baru telah lahir kembali di pentas dunia. Bahwa dunia harus melupakan Rusia yang lemah setelah Uni Sovyet bubar.

Bahwa militer Rusia telah terbebas dari beban psikologis ketika militer Uni Sovet kalah perang di Afghanistan. Beban psikologis yang juga pernah dialami tentara Amerika ketika kalah perang di Vietnam.

Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa Rusia telah hadir di Suriah sebelum krisis terjadi di negara itu. Dan, Amerika sendiri — pada periode Presiden Barack Obama dan Donald Trump — menganggap kemenangan di Suriah tidak sepadan dengan menghabiskan miliaran dolar dan dengan mengorbankan darah tentaranya. Gedung Putih juga memandang kehadiran militer Rusia di Suriah tidak akan bisa membalikkan perimbangan kekuatan di kawasan.

Bahkan sejumlah pejabat tinggi di Washington berpendapat pertempuran di Suriah akan menjadi beban bagi pemenang. Pandangan ini didasarkan pada fakta bahwa pemenang pertempuran harus bertanggung jawab atas rekonstruksi Suriah.

Dan, apabila mereka tidak mampu melakukan pembangungan kembali negara itu, mereka harus mendistribusikannya kepada pihak lain. Dengan kata lain, pemenang perang di Suriah belum tentu yang mengambil keuntungan.

Lalu apa yang terjadi dengan para ‘pemain’ regional di kawasan Timur Tengah? Iran misalnya?

Negara ini memang pendukung utama rezim Bashar Assad, baik melalui para penasihat militer maupun para milisinya. Bahkan mungkin militer Iran juga membantu Suriah dalam berbagai pertempuran.

Namun, yang perlu diingat bahwa Iran sudah merupakan sekutu Suriah sebelum konflik. Iran juga menghadapi persoalan dalam negeri yang pelik, terutama di bidang ekonomi. Embargo Amerika telah menyebabkan ekonomi Iran bertambah sulit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement