Sabtu 26 Jan 2019 02:56 WIB

Umrah dan Rekam Biometrik

Berbagai masalah terkait perekaman biometrik ini terus bermunculan.

Arafah, Mekkah
Foto:
Israr Itah

Berbagai masalah terkait perekaman biometrik ini terus bermunculan saat saya berada di Tanah Suci dan berlanjut ketika sudah kembali ke Tanah Air. Alhamdulillah, untuk Jakarta setidaknya sudah ada sedikit perbaikan. Menurut kakak ipar saya yang akan berangkat umrah pada awal Februari, proses pengambilan biometrik di mal yang saya sebutkan di atas lebih singkat dan tak perlu lama mengantre di luar. Sebab sudah ada penjadwalan yang jelas dan lebih teratur. Sehingga, para perekam tak perlu bergerombol di depan kantor dan berisiko ditegur pengelola mal seperti yang saya saksikan sebelumnya. Tapi itu di sini, bagaimana bagi saudara-saudara kita di luar Jakarta? Saya mendapatkan info ada beberapa kantor yang lokasinya sungguh tak nyaman.

Saat di Makkah, saya menyerap berbagai pendapat tentang perekaman biometrik ini. Ada yang kontra karena menilai ini buang-buang waktu dan tenaga. Perekaman biometrik dituding 'akal-akalan' pemerintah Saudi untuk mendapatkan pemasukan baru. Terlebih saat ini Saudi tengah gencar-gencarnya membuka sumber pemasukan baru untuk negara. Salah satunya pajak 5 persen yang dikenakan dalam pembelian barang di sejumlah pusat perbelanjaan. Menurut WNI yang tinggal di sana, sejumlah pajak yang sebelumnya tak ada kini diberlakukan. 

Lainnya misalnya biaya visa progresif yang nominalnya membesar bagi mereka yang umroh berkali-kali dalam rentang waktu larangan yang ditetapkan pemerintah Saudi. Bila telah berangkat umrah pada 2019 misalnya, kita baru bisa pergi lagi tiga tahun kemudian. Jika dalam tiga tahun kita berangkat lagi, maka kita harus membayar visa progresif sekitar Rp 8 jutaan.

Ada lagi pihak yang menolak perekaman biometrik, tapi terbuka menerimanya dengan syarat prosedur pengambilan lebih dimudahkan. Tak perlu menempuh perjalanan jauh yang menguras tenaga dan dompet. Jangan pula server error saat berusaha mendaftar perekaman via laman daring. Ini dilaporkan kerap terjadi. Pihak kedua ini menginginkan dibukanya cabang VFS Tsaheel yang lebih banyak di seluruh Indonesia.

Sementara kelompok ketiga yang mendukung berargumentasi perekaman biometrik ini membantu pemerintah Saudi mendata orang asing yang masuk ke negaranya. Ini juga demi kelancaran administrasi para jamaah umrah di bandara Saudi. Menurut mereka, berbagai kekurangan adalah hal wajar pada awal penerapan suatu sistem atau aturan. Mereka percaya kekurangan-kekurangan itu akan segera diperbaiki.

"Mereka yang menolak biasanya orang yang ingin berangkat umrah berkali-kali tapi tak mau membayar visa progresif dengan cara mengganti paspor. Sebab dengan perekaman biometrik ini, mereka tak bisa mengakali biaya seperti itu lagi. Kemudian yang menolak pastinya travel umrah yang kehilangan pemasukan dari biaya jasa pengurusan visa karena peserta umrah sekarang harus datang sendiri untuk perekaman, tidak bisa diwakilkan," ujar salah seorang WNI yang tinggal di Makkah mengungkapkan pandangannya tentang perlunya perekaman biometrik ini.

Saya tak sepenuhnya setuju dengan pendapat terakhir ini, tapi tak juga bisa ikut membenarkan pendapat pertama. Saya lebih condong ke pendapat tengah, mempersilakan pengambilan biometrik asalkan tidak memberatkan calon jamaah umrah. Jangan sampai calon jemaah lansia harus menempuh perjalanan jauh via darat ataupun kapal laut hanya untuk pengambilan biometrik karena di tempat tinggalnya tak ada perwakilan VFS Tasheel.

Saya mendukung kesepakatan lima kementerian soal rekam biometrik yang meminta VFS Tasheel menunda prosedur tersebut. Pemerintah semestinya bisa 'membujuk' Kedutaan Besar Arab Saudi (KBSA) untuk melaksanakan hasil kesepakat rapat itu agar menuruti permintaan kita supaya rekam biometrik tidak diberlakukan sebagai syarat mendapatkan visa umrah. 

Saya percaya kita punya kekuatan untuk itu. Andai bujukan tak mempan, pemerintah bisa 'mengancam' akan memberhentikan pemberangkatan jamaah umrah untuk sementara sampai ada respons positif dari pemerintah Saudi. Sebab, menurut saya, jamaah umrah Indonesia merupakan salah satu unsur penggerak roda perekonomian di dua kota suci, Makkah dan Madinah.

Jamaah umrah Indonesia pada 2018 diperkirakan berjumlah 1 juta orang. Anggap saja satu orang menghabiskan Rp 3 juta selama di sana, ada sekitar Rp 3 trilun atau 797 juta riyal uang masuk memutar perekonomian Saudi. Jumlah yang tak kecil.  

Tapi, perkara 'ancam mengancam’ ini harusnya merupakan langkah terakhir yang benar-benar mendesak dan perlu kalkulasi matang. Sebab, ini menyangkut hal sensitif. Terlebih pada masa jelang pilpres ini. Jangan justru niat untuk mempermudah keberangkatan jamaah dipelintir menjadi pemerintah menghalangi umat Islam beribadah. Atau pemerintah dituding mematikan usaha travel umrah di Tanah Air karena juga menyangkut lapangan kerja yang tak sedikit. 

Saya mendoakan pemerintah mendapatkan solusi terbaik memecahkan masalah ini. Semoga kita semua dimudahkan langkahnya beribadah ke Tanah Suci...Aamiin.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement