Selasa 22 Jan 2019 08:09 WIB

Mengapa Pembebasan Ustaz Ba'asyir Dipersoalkan?

Sejumlah pihak menyoal ketaksediaan Ba’asyir meneken kesetiaan pada Pancasila.

Ustaz Baasyir (ilustrasi)
Foto:

Peryataan Hasto merujuk pada penolakan terpidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir menandatangani janji sumpah setia terhadap Pancasila. Padahal, janji setia kepada NKRI dan Pancasila adalah syarat mendapat pembebasan dirinya.

Hasto berpendapat, setiap warga negara juga harus menjalankan perintah konsitusi untuk setiap pada Pancasila. Sebabnya, dia melanjutkan, kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI itu bersifat wajib dan tidak bisa ditawar-tawar.

Menurut Hasto, fungsi kemanusiaan sebenarnya tetap bisa dijalankan tanpa melalui pembebasan jika yang bersangkutan menolak untuk setia kepada Pancasila dan NKRI. Dia mencontohkan, misalnya melalui fasilitas-fasilitas untuk berobat hingga perawatan yang baik sehigga aspek kemanusian betul-betul ditunjukan negara.

"Tetapi kami juga memahami kebijakan dari Bapak Presiden tetapi kebijakan Presiden dan para menteri dibatasi oleh konstitusi di mana konstitusi mengatakan setiap warga negara wajib untuk taat sepenuhnya kepada Pancasila dan NKRI," kata Hasto.

Pengamat intelijen Soeripto mengatakan pembebasan Ba'asyir merupakan hak presiden. Namun menurut dia, pemberian pembebasan untuk Ustaz Baasyir kurang tepat waktunya.

"Karena kan presidennya sekarang lagi bertanding, jadi tidak tepatnya ini bisa jadi komoditi untuk mencari simpati atau sebagai komoditi untuk barang dagangan," ujar Soeripto, Senin (21/1).

Tidak heran jika sejumlah pihak melihat upaya tersebut sebagai manuver politik Jokowi. Selain itu, terkait adanya kekhawatirkan munculnya kembali aksi terorisme di Indonesia setelah dibebaskannya Baasyir, kata Soeripto, hal tersebut tergantung penilaian BNPT.

Sementara itu, dari negara tetangga Australia, tekanan sudah dimulai begitu kabar pembebasan disampaikan Yusril. Perdana Menteri Scott Morrison menyatakan langsung menghubungi Kemenlu RI dan menyampaikan keberatan pada Sabtu (19/1).

Beberapa jam sebelum konferensi pers Wiranto kemarin, Morrison kembali mendesak Pemerintah Indonesia untuk menunjukkan rasa hormat yang besar kepada Australia terkait Abu Bakar Ba’asyir. Morrison mengingatkan, warganya tewas secara mengerikan pada insiden bom Bali pada Oktober 2002.

Sebanyak 88 warga Australia tewas dalam peristiwa yang secara total menewaskan 202 orang tersebut. Ia berkeras Ba’asyir terlibat dalam peristiwa itu meski pengadilan di Indonesia membebaskannya dari dakwaan tersebut.

Dengan pembebasannya, Morrison menilai Ba’asyir berada pada posisi mudah untuk memengaruhi atau menghasut untuk terlibat jihad. "Orang Australia meninggal secara mengerikan pada malam itu, dan saya pikir orang Australia mengharapkan masalah ini ditangani dengan sangat serius oleh pemerintah kami, dan bahwa Pemerintah Indonesia akan sangat menghormati Australia dalam cara mereka menangani masalah ini," ujar Morrison kepada wartawan di Canberra, seperti dilansir SBS News, Senin (21/1).

BACA JUGA: Hasyim Menyesal Pernah Bantu Biaya Kampanye Jokowi

(fergi nadira ed: fitriyan zamzami)

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement