Senin 21 Jan 2019 10:00 WIB

'Ini Urusan Dalam Negeri Indonesia, Tuan Perdana Menteri'

Australia protes Ba'asyir soal bom Bali padahal dia divonis tidak bersalah.

Abu Bakar Baasyir
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Abu Bakar Baasyir

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Fauzi Ridwan, Muhyiddin

CIWARUGA -- KH Ma'ruf Amin angkat bicara mengenai keberatan Perdana Menteri (PM) Australia, Scott Morison tentang rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. KH Ma'ruf Amin yang kini menjadi calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 itu menegaskan masalah keluarnya Ba'asyir dari Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, adalah sepenuhnya urusan pemerintah Indonesia.

"Itu urusan dalam negeri kita. Saya kira pemerintah punya kebijakan-kebijakan. Ada yang sifatnya penegakan hukum dan ada sifatnya kemanusiaan dan Pak Jokowi sudah mengambil langkah itu," ujarnya di Bandung Barat, Ahad (20/1).

Ia meyakini persoalan tersebut tak akan menganggu hubungan antar kedua negara. "Tidak, kita masing-masing punya kedaulatan," kata Kiai Ma’ruf.

Kiai Ma’ruf juga menambahkan, masalah Abu Bakar Ba’asyir ini jangan sampai ada yang melakukan intervensi antarnegara.

Kiai Ma’ruf sedianya punya peran dalam pembebasan Ba’asyir yang saat ini sudha berusia 81 tahun. Sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia, Kiai Ma’ruf yang mulanya memohon pembebasan Ba’asyir pada awal 2018 lalu. Kiai Ma'ruf mengatakan permohonan itu dengan pertimbangan kesehatan dan kemanusiaan.

"Betul, memang saya sudah pernah mengusulkan," kata dia.

Namun, kata Kiai Ma'aruf, pada saat itu belum ditemukan alasan yang tepat untuk membebaskan Ba'asyir. Kendati demikian, ada persoalan teknis dan prosedur pembebasan kala itu. “Tadinya akan ditempuh grasi, tapi keluarganya tidak mau meminta grasi, sehingga sulit untuk dibebaskan," kata mustasyar PBNU ini.

Namun, menurut Kiai Ma'ruf, saat ini pemerintah telah menemukan lagi alasan yang tepat untuk membebaskan Ustaz Ba'asyir. Pembebasan terpidana kasus terorisme tersebut dilakukan demi alasan dan atas dasar pertimbangan kemanusiaan.

Ba’asyir divonis bersalah mendanai pelatihan terorisme di Aceh dan dihukum pidana 15 tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 2011 silam. Seharusnya dia baru bebas murni pada 2022. Kendati demikian, pihak kuasa hukum menyatakan yang bersangkutan sudah menjalani dua pertiga masa hukuman dan bisa dibebaskan murni dengan putusan presiden.

Pada Sabtu (19/1), pemerintah Australia dengan tegas tidak menyetujui keputusan Presiden Joko Widodo tersebut. Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan pada Sabtu (19/1), ia telah melakukan kontak dengan pemerintah Indonesia.

"Posisi Australia tentang masalah ini tidak berubah, kami selalu menyatakan keberatan yang paling dalam," kata Morrison kepada wartawan di Melbourne, seperti dilansir Reuters.

Tahun lalu, saat kabat Presiden Jokowi hendak menjadikan Ba’asyir tahanan rumah, Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop juga menegaskan, warga Australia mengharapkan keadilan. "Abu Bakar Ba'asyir seharusnya tidak pernah boleh menghasut orang lain untuk melakukan serangan lain di masa depan terhadap warga sipil tak berdosa," kata pernyataan menteri luar negeri Australia saat itu.

Sikap Australia terhadap Ba’asyir terkait persepsi bahwa yang bersangkutan terlibat dalam pengeboman di Bali pada 2002 silam. Saat itu, pengeboman yang dilakukan Jemaah Islamiyah (JI) yang terafiliasi dengan al-Qaidah tersebut menewaskan 202 orang termasuk 88 warga Australia.

Abu Bakar Ba’asyir sempat ditangkap pada 2004 dan dituding sebagai pembimbing spiritual Jamaah Islamiyah terkait pengeboman tersebut. Kendati sempat divonis bersalah di pengadilan tingkat bawah, dakwaan tersebut kemudian dinilai tak terbukti oleh Mahkamah Agung dan Ba’asyir dibersihkan dari dakwaan itu pada 2006.

Pers Australia

Bagaimanapun, selepas kabar pembebasan pekan lalu, media-media Australia kembali mengasosiasikan Ba’asyir terkait tudingan tersebut. Mereka menanyai para penyintas dan kerabat korban bom bali terkait pembebasan tersebut.

The Sydney Morning Herald, misalnya, menanyai Jan Laczynski, seorang warga Melbourne yang mengaku kehilangan lima teman dalam ledakan itu. Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo seharusnya mempertimbangkan semua orang di seluruh dunia yang masih menderita karena pengeboman ini.

"Siapa selanjutnya (yang dibebaskan)? Ali Imron, orang yang membuat bom? Ini menakutkan," tanya Laczynski. Ali Imron adalah salah satu terpidana seumur hidup kasus bom bali yang saat ini kerap mengkampanyekan antiradikalisme.

The Sydney Morning Herald juga menanyai korban lainnya dari Indonesia, Dewa Ketut Rudita yang menderita luka bakar hingga 35 persen tubuhnya dalam ledakan bom bali dan mata kanannya terluka.

"Kecewa, tentu saja. Sebagai seorang manusia dengan empati, saya mengerti dia sudah tua, saya berempati dengan itu. Tapi bukankah para korban dan keluarga pelaku pengeboman harus dipertimbangkan? Bagaimana perasaan kita tentang hal itu?" katanya.

Media dari Australia bagian barat, Perth Now, juga menyoroti pembebasan Ba’asyir dengan mengutip keterangan kerabat korban. Sebanyak 16 dari para korban yang meninggal dalam peristiwa pengeboman merupakan warga Australia Barat.

“Memang bukan dia yang menelepon atau menarik picu bom … Tapi sebagai pemimpin spiritual, Ba’asyir seperti kepala ular,” kata Phil Britten, pesepak bola yang kehilangan tujuh rekannya akibat pengeboman. Ia meyakini, tanpa pengaruh Ba’asyir, pengeboman barangkali tak akan terjadi.

Dampak besar

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada Sabtu (19/1) malam mengatakan, ia menghargai keberatan Australia atas dibebaskannya Abu Bakar Ba’asyir oleh Pemerintah Indonesia. Namun, Wapres menegaskan, Pemerintah Indonesia memiliki daulat penuh untuk memutuskan hal tersebut.

"Itu boleh saja (Australia keberatan)," ujar JK saat ditemui wartawan di Makassar, Sabtu (19/1).

Menurut JK, pemerintah telah mempertimbangkan bahwa pembebasan Baasyir karena alasan kemanusiaan, mengingat kesehatan Ba'asyir tak baik. Pemerintah, kata dia, mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan jika membiarkan Ba'asyir tetap di dalam penjara.

"Jangan lebih parah nanti, kalau dari kemanusiaan. Bayangkan kalau terjadi apa-apa di penjara itu dianggap pemerintah yang salah," kata JK.

Pengamat Terorisme Harits Abu Ulya menilai pembebasan Ba’asyir akan membawa dampak besar bagi pemerintah Indonesia. “Efek pembebasan Abu Bakar Ba’asyir, waspadalah akan ada permainan intelegen asing,” kata Haris kepada Republika pada Sabtu (19/1).

Harits menilai, sangat mungkin Pemerintah Australia akan mengakomodasi reaksi publik dengan mengambil langkah-langkah melalui saluran diplomatiknya untuk menekan pemerintah Indonesia. “Sikap Australia pada rencana pembebasan Ba’asyir di awal 2018 saja menolak, dan saat ini juga tidak akan berbeda jauh,” ungkapnya.

Bahkan, menurut Harits, sangat mungkin bagi Australia untuk kemudian menggalang dukungan bersama negara-negara mitranya, terutama Amerika Serikat. Hal tersebut untuk melakukan operasi terbuka maupun operasi tertutup melakukan tekanan kepada pemerintah Indonesia. “Dalam konteks ini Pemerintah Indonesia dihadapkan tantangan sebagai negara berdaulat tidak boleh tunduk dan membeo apa saja yang dikehendaki negara asing,” kata dia.

Harits juga menganggap langkah pemerintah dalam mengambil keputusan membebaskan Ba’asyir secara murni tanpa sarat tidak hanya dikaji pada aspek legal hukum yang berlaku di Indonesia. Namun, juga sudah melalui kajian mendalam menyangkut aspek keamanan ke depannya. Hal ini mengingat yang bersangkutan adalah sosok sentral dalam pusaran isu terorisme di kawasan Pasifik.

Paling tidak, lanjut Harits, Pemerintah Indonesia melalui alat negara, semua unsur intelijen dan kepolisian akan bekerja memberi garansi menganulir kekawatiran publik bahwa tidak ada dampak terganggunya keamanan atau ancaman serius aksi terorisme dengan bebasnya Ba’asyir. Serta juga telah menjamin akan membuat Ba’asyir terputus dari semua upaya yang menyeret-nyeret dan menjebak Ba'asyir pada rencana terkait terorisme.

Harits berharap tokoh-tokoh masyarakat, khususnya umat Islam dapat bersikap bijak. Karena, menurut dia, melalui polemik perdebatan soal bebas murninya Ba'asyir ini bisa menjadi pintu masuk bagi intelijen asing untuk bermain dan mengadu domba bangsa. “Jangan sampai tanpa sadar menjadi proksi dari proyek asing yang dengan mudah mengacak-acak Indonesia melalui taktik pecah belah dan adu domba antaranak bangsa,” kata dia.

BACA JUGA: Sikap Ormas Islam Atas Pembebasan Ba'asyir

(mabruroh/fauziah mursid ed: fitriyan zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement