Sabtu 19 Jan 2019 17:20 WIB

Empat Media Asing Cecar Yusril Soal Ba'asyir, Ini Jawabannya

Yusril menyebut Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan tak bisa didikte.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penasihat hukum Presiden Joko Widodo (Jokowi), Yusril Ihza Mahendra mengaku mendapat tekanan politik tidak hanya dari dalam negeri yang tak sepakat soal pembebasan Abu Bakar Baasyir, tetapi juga luar negeri. Ia dihubungi banyak jurnalis asing soal pembebasan Baasyir.

"Tak hanya dari dalam negeri oleh mereka yang tak setuju, tetapi tekanan politik dari luar negeri juga luar biasa. Misalnya saya ditelpon oleh Reuters, The Sydney Morning Herald dari Australia, CNN-nya Inggris, dan kantor berita AFP (Agence France-Presse) Prancis," kata dia kepada Republika.co.id, Sabtu (19/1).

Kepada media asing itu, Yusril mengatakan bahwa Indonesia adalah negara berdaulat dan tidak bisa didikte oleh negara lain saat mengambil suatu keputusan. Indonesia, kata dia, memang bekerja sama memberantas terorisme secara internasional.

"Dan negara-negara barat pun mengakui bahwa Indonesia bisa menjadi salah satu model menanggulangi terorisme. Kami lebih tahu persoalan terorisme daripada negara-negara lain. Karena itu jangan terlalu banyak berkomentar terhadap urusan domestik negara kita ini. Sudah saya jawab kok," tuturnya.

Yusril melanjutkan, beban politik yang didapatkan dirinya seperti itu tentu tidak mungkin bisa dihadapi oleh direktur jenderal pemasyarakatan (PAS) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Ini ia katakan untuk menanggapi pandangan pembebasan Baasyir cukup diserahkan kepada dirjen PAS Kemenkumham.

"Kalau menteri kehakimannya (Menkumham) itu saya, saya enggak peduli, saya biasa berani mengambil kebijakan. Kalau ada tekanan internasional, saya hadapi. Tapi kan tidak semua menkumham bisa berbuat begitu, tergantung kapasitasnya. Saya menganggap sekarang ini kebijakan itu harus diambil oleh seorang presiden," ungkap dia.

Ketika ada tekanan umpamanya dari Australia dan Amerika Serikat mengenai Baasyir ini, lanjut Yusril, presiden yang harus menghadapi. "Karena itu, saya mengambil langkah ini dengan memperhitungkan aspek hukum, psikologis dan politik baik domestik maupun internasionalnya. Dan saya pikir langkah ini sudah tepat," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement