Jumat 18 Jan 2019 20:55 WIB

Aturan untuk Jamin Ketersediaan Obat JKN Perlu Dirancang

GP Farmasi selama ini menyuplai 90 persen kebutuhan obat dalam negeri

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Perawat memeriksa perlengkapan obat yang tersedia di gudang farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soekardjo Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (17/1).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Perawat memeriksa perlengkapan obat yang tersedia di gudang farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soekardjo Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (17/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) menyampaikan, perlu adanya perbaikan dari isi Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) yang dinilai masih rendah dan perlu adanya aturan. Agar setiap adanya pembayaran dari BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan, harus dialokasikan untuk jatah pembayaran obat minimal 25 persen.

"Sebaiknya memang harus ada update nilai INA-CBGs yang saat ini masih rendah, dan dan aturan alokasi pembayaran jatah obat minimal 25 persen. Saya juga berharap agar co-payment diperbolehkan dan tidak ditegur," ujar Ketua Bidang Industri GP Farmasi, Roy Lembong dalam keterangannya, Jumat (18/1).

Menurut dia, hal ini sangat penting guna mempertahankan keberlangsungan JKN, karena menurutnya apapun penyakitnya, harus diobati dan pasien harus disediakan obat. Ia menambahkan bahwa saat ini  GP Farmasi telah menyuplai 90 persen kebutuhan obat dalam negeri, dimana 52 persen diantaranya adalah obat generik berkualitas. Kualitas obat yang diproduksi GP Farmasi memiliki standar dan kualitas yang tinggi, karena GP Farmasi melakukan beberapa mekanisme produksi yang cukup ketat. 

Ketua Bidang Distribusi GP Farmasi Hery Sutanto menambahkan, selama ini meskipun sudah keluar pembayaran dari BPJS Kesehatan, namun hanya sedikit sekali yang sampai kepada penyedia obat. 

“Memang uangnya sudah keluar dari pemerintah, tetapi sampai ke kami hanya menetes saja, mungkin hanya enam persen. Padahal sepanjang Agustus-Desember masih terus ada belanja dari Rumah Sakit, tidak mungkin kita stop obat, karena pasti makin ramai nanti. Kami hanya minta solusi sebaiknya ada alokasi 25 persen,” jelas dia.

Menurut dia, Pedagang Besar Farmasi (PBF) memiliki tantangan yang cukup besar dalam melayani JKN yaitu turunnya profitabilitas perusahaan distribusi dari tahun ke tahun. "Turunnya kenapa? Karena bisnis JKN ini sangat high cost, ini dari segi bisnis. Jadi kalau lebih milih, kami milih bisnis secara reguler dengan swasta. Bayar lebih cepat tidak butuh waktu, begitu kami jual ke RS pemerintah cost kami berlipat-lipat," ungkap Hery.

Sementara itu, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Engko Sosialine menyebut, saat ini pihaknya tengah fokus pada tiga hal. yaitu rencana kebutuhan obat (RKO), menjamin ketersediaan obat dan pengadaan obat.

Dia menilai perihal RKO perlu ada perbaikan akurasi. Karena RKO yang diserahkan kadang tidak sesuai dan akurat, misalnya pada tahun 2014 kurang 20 persen dan tahun 2018 malah lebih 20 persen. "Meningkatnya kan cukup tajam, dan data yang bisa digunakan tentang peningkatan sudah dihubungkan secara elektronik dan akurasinya bagus," kata dia.

Selain itu GP Farmasi juga meminta agar pembebanan biaya kesehatan dialokasikan lebih proporsional baik di antara negara, swasta, dan masyarakat seperti yang dilakukan negara-negara lainnya. Menurutnya, upaya promotif preventif dalam bentuk pembaharan peraturan yang ada perlu segera dilakukan untuk mengurangi beban kuratif JKN.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement