Kamis 17 Jan 2019 05:49 WIB

Agar Bisnis Ritel tidak Berguguran

Ada sejumlah alasan mengapa konsumen meninggallkan gerai atau toko ritel.

Warga memasuki gerai Hero yang masih buka di kawasan Gondangdia, Jakarta, Selasa (15/1).
Foto:

Persaingan ketat

Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa menanggap, penutupan sejumlah gerai oleh perusahaan ritel merupakan hal wajar. Sebab, di dunia usaha dan bisnis selalu ada dinamika yang tidak dapat selalu ditebak.

Astawa menjelaskan, fenomena penutupan gerai ritel di Indonesia selama dua tahun terakhir tidak dapat disamaratakan penyebabnya. Setiap kasus berbeda persoalannya. "Entah itu karena daya beli masyarakat yang memang rendah atau penurunan kinerja industri, harus ditelaah lagi," ucapnya.

Astawa mengatakan, persaingan bisnis ritel semakin ketat karena dua faktor. Pertama, pembangunan pusat perbelanjaan yang terus terjadi di berbagai daerah dari kota besar hingga kota kecil. Kondisi ini menyebabkan ritel harus memilih secara selektif, lokasi mana yang terbaik untuk mengembangkan bisnis mereka.

Faktor kedua, kehadiran perdagangan elektronik yang menawarkan kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan. Meski saat ini pertumbuhannya masih kecil, Astawa menuturkan, perkembangan niaga daring akan terus positif sepanjang tahun.

Agar dapat bertahan di tengah persaingan ritel, Astawa menjelaskan, pengusaha harus melakukan inovasi. Cara termudahnya adalah dengan memasarkan produk melalui marketplace. "Baru sebagian peritel modern yang telah masuk ke ranah online," katanya.

Astawa menambahkan, pengusaha ritel juga tetap harus membuka toko fisik di daerah-daerah yang memang sesuai dengan pangsa pasar mereka. "Kini, mereka harus mempertimbangkan untuk menawarkan strategi omnichannel, yaitu memadukan offline dan online," tuturnya.

Ia memastikan, pemerintah akan terus mendorong pertumbuhan industri ritel. Salah satu upayanya melalui sistem online single submission (OSS) yang dapat memudahkan usaha mereka. Kemudian, melakukan pengawasan serta pembinaan sumber daya manusia (SDM).

Pengamat perilaku konsumen Yusowhady menilai, menurunnya kekuatan ritel yang hanya memanfaatkan toko sebagai tempat berjualan atau dikenal sebagai ritel tradisional sudah terlihat sejak 2017. Saat itu, pusat perbelanjaan, seperti Glodok dan Roxy, mulai sepi. Gerai Matahari dan Ramayana yang biasa dipenuhi konsumen pun tutup secara bertahap.

Redupnya kekuasaan ritel tidak hanya berlaku pada perusahaan lokal. Peritel global, seperti H&M, Lotus, hingga Debenhams menghentikan operasionalnya. Menurut Yuswohady, ada dua kekuatan disruptif yang menyapu sektor ritel tradisional. "Disrupsi digital dan pergeseran preferensi konsumen," ujarnya, Selasa (15/1).

Disrupsi digital memicu munculnya niaga daring yang saat ini semakin membumi. Ada tiga nilai yang ditekankan platform ini sehingga mampu mengubah perilaku belanja konsumen dari luring (offline) ke daring (online). Nilai tersebut adalah kenyamanan, biaya lebih murah, dan efisiensi dari segi waktu.

Yuswohady mengatakan, disrupsi ini tidak bisa terhindarkan, terutama ketika Indonesia percaya diri masuk ke era Revolusi Industri 4.0. Era ini menghasilkan perubahan supercepat dan disruptif, termasuk ritel tradisional yang digilas oleh niaga daring.

(ed: satria kartika yudha)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement