Senin 14 Jan 2019 10:20 WIB

Perang Opini Isu HAM Uighur di Indonesia, Siapa Benar?

Dubes Qian menegaskan Pemerintah Cina menjamin kebebasan beragama.

Rep: Fergi Nadira/nashih/Ali Yusuf/ Red: Teguh Firmansyah
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, antre makan siang di kantin saat jam istirahat, Jumat (3/1/2019).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Penghuni Kamp Uighur Gulbachar Jalilova (kiri) memberikan paparan saat kunjungan di Kantor Republika, Jakarta, Jumat (11/1).

Mantan peserta kamp di Provinsi Xinjiang, Cina Gulbachar Jalilova (54 tahun) mengaku terkejut melihat perbedaan foto yang diambil pekan lalu oleh jurnalis dari beberapa media internasional ke kamp tersebut. Jalilova menggambarkan kondisi sebenarnya penuh dengan penyiksaan.

Ruangan dengan ukuran 7x3x6 yang tanpa jendela menjadi tempat sehari-harinya selama 16 bulan dia ditempatkan di kamp Uighur.

"Kami ditahan di kamar pengap dan gelap.kadang-kadang mereka mengikat logam seberat 5 kilogram di kaki kami sebagai cara hukuman. dur tidur kami bergantian, hanya empat jam semalam," ujar Jalilova saat kunjungannya ke Republika pada Jumat (11/1).

Jelilova berasal dari Kazakhstan. Dia menghabiskan dua dekade terakhir berbisnis di perbatasan Cina-Kazahstan. Pada Mei 2017, dia tiba-tiba ditangkap di kota Urumqi, Cina dengan tuduhan mentransfer dana secara ilegal sebesar 17 ribu yuan (3500 dolar AS) dari Cina dan Turki.

"Ketika saya berada di kamp, saya memberi tahu mereka bahwa saya adalah orang asing dan bahwa saya tidak melakukan kesalahan," katanya.

Setelah ditangkap dan ditempatkan di kamp, dia tersiksa dan terpisah dari anaknya. Setiap pekan anaknya hanya bisa mengirim surat kepadanya. "Kami diberitahu bahwa kami tidak memiliki hak di sana. Kami tidak memiliki hak untuk melakukan panggilan telepon, kami seperti orang mati," ceritanya.

Kehidupan sehari-hari hanya dalam ruangan pengap. Dalam hal minum sebagai energi pertahanan tubuh pun dibatasi oleh Cina di kamp itu. Ketika mereka menggunakan air dalam tubuh mereka, mereka disangka berwudhu kemudian disiksa.

Pendidikan vokasi yang diakui Cina, menurut Jalilova berbentuk pengajaran ajaran-ajaran komunis, baik itu dari lagu-lagu komunis Cina dan undang-undang komunis. Semua wajib dihapal, wajib dipelajari bahkan dijadikan ujian.

"Dalam satu kamar pengap terdiri dari 40-50 orang. Jadi jika waktu tidur, kami bergantian sehingga waktu tidur kami hanya ada empat jam," ujarnya.

Pernyataan Gulbachar Jalilova ini bertentangan dengan klaim Pemerintah Cina. Namun sesuai dengan kelompok advokasi masyarakat Uighur dan hak asasi manusia lainnya.

Klaim-klaim kedua pihak memang perlu dibuktikan. PBB bisa menjadi jalan tengah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. Cina pun telah mengizinkan PBB masuk ke Xinjiang dengan syarat mengikuti aturan yang telah ditentukan.

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement