REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Belum semua pembangunan infrastruktur di Kota Bogor memperhatikan analisis dampak bencana. Padahal, Kota Bogor merupakan salah satu daerah dengan potensi rawan bencana yang cukup tinggi di Indonesia.
“Hampir semua bangunan baru yang dibangun di Kota Bogor itu tidak menimbang aspek kebencanaan. Akibatnya, banyak bangunan yang gampang rusak ketika bencana alam menerjang. Itu yang sering terjadi,” kata Kepala Pusat Studi Bencana Institut Pertanian Bogor (IPB) Yonvitner, Ahad (13/1).
Menurut Yonvi, bangunan yang ada di Kota Bogor saat ini masih berbeda jauh kualitasnya dengan struktur bangunan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda. Bangunan era kolonial, kata dia, cukup kokoh dan adaptif terhadap bencana seperti banjir atau pun terjangan angin kencang.
Yonvi menjelaskan, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor memerlukan penguatan regulasi izin mendirikan bangunan yang salah satunya dapat memasukkan rekomendasi analisis dampak bencana. Analisis dampak bencana pada pembangunan gedung maupun infrastruktur, lanjutnya, sangat penting dilakukan untuk mengantisipasi kerusakan bangunan jika diterjang bencana.
Penerapan regulasi izin tersebut dinilai harus segera diaplikasikan agar pembangunan bangunan maupun infrastruktur tidak mengabaikan aspek kebencanaan. Terlebih, kata dia, risiko bencana di Kota Bogor cukup tinggi. “Saat ini masih banyak ditemui pembangunan gedung di area terdampak banjir yang tidak disampaikan ke publik. Walapun risiko bencana di Kota Bogor tidak setinggi di Selatan Jawa, tapi potensi bencana hidrometeorologi di Kota Bogor masih terbilang tinggi,” katanya.
Yonvi juga menjelaskan, saat ini Pusat Studi Bencana IPB Kota Bogor akan membantu Pemkot Bogor dalam memetakan titik rawan bencana. Pemetaan tersebut bisa dijadikan acuan bagi para stakeholder dalam memberi rekomendasi ke masyarakat jika ingin membangun rumah, gedung, ataupun infrastruktur lainnya.
Pihaknya juga mengaku akan membantu di aspek sosialisasi terhadap masyarakat agar dapat mengubah budaya abai bencana menjadi masyarakat dengan budaya sadar bencana. Salah satu sosialisasi itu, lanjut Yonvi, dilakukan dengan cara mengidentifikasi gedung-gedung sekitar yang layak dijadikan tempat evakuasi bencana.
Sementara itu, pakar bangunan IPB Heriansyah Putra menjelaskan, mayoritas pembangunan perumahan terutama rumah berlantai satu masih mengabaikan prinsip desain rumah ramah bencana. Hal itu terjadi salah satunya karena biaya pembangunan rumah ramah bencana terbilang tinggi sehingga memberatkan biaya operasional pengembang.
“Jika acuannya adalah rumah ramah bencana, segi biaya bisa naik sekitar 20 persen. Pengembang banyak yang tidak mau, makanya begitu ada bencana, banyak rumah yang sekaligus rusak kena dampaknya,” kata Heri.
Heri menilai, meski Kota Bogor bukanlah daerah rawan bencana gempa, keberadaan Sesar Lembang yang sejalur dengan lokasi Gunung Salak perlu diwaspadai. Oleh karena itu, pembangunan prinsip rumah ramah gempa harus benar-benar diterapkan di Kota Bogor untuk meminimalisasi dampak bencana gempa yang bisa datang sewaktu-waktu.
Namun begitu, Heri mengaku tidak bisa mengevaluasi satu per satu bangunan yang telah ada di Kota Bogor. Sehingga jika terdapat bangunan dengan struktur tidak siap bencana, pihaknya tidak serta-merta mendorong Pemkot Bogor untuk merobohkan bangunan tersebut. Salah satu solusi terhadap bencana ke depan, kata dia, adalah dengan mendorong diberlakukannya syarat izin mendirikan bangunan (IMB) dengan analisis dampak bencana.