Ahad 13 Jan 2019 11:49 WIB

Kisah Narcissus yang Narsis

Perasaan cinta pada diri sendiri secara berlebihan akan memerosokan ke jurang

Rektor IPB, Arif Satria berswafoto dengan jurnalis Republika, Yeyen Rostiyani di sela program iMPRESI.
Foto: Republika TV
Rektor IPB, Arif Satria berswafoto dengan jurnalis Republika, Yeyen Rostiyani di sela program iMPRESI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mursalin Yasland, wartawan Republika

Dalam mitologi Yunani, terdapat seorang pemuda bernama Narcissus. Ia terlahir dengan postur tubuh atletis dan memiliki wajah tampan. Banyak gadis tergoda dan tidak sedikit pula yang jatuh cinta padanya. Tapi, sayang tak satu pun mampu memikat pemuda tersebut. Narcissus pun tak memedulikan sang gadis. Tak jelas mengapa begitu?

Narcissus memiliki hobi berkaca. Tiap kali ia menatap wajahnya. Untuk menatap wajahnya, air kolam atau danau menjadi medianya. Sampai ia mengagumi sendiri ketampanan wajah dan tubuhnya sendiri. Jatuh cintalah ia pada dirinya sendiri. Seringkalinya menatap wajah dan mengagungkan dirinya sendiri, ia tercebur di kolamnya sendiri, dan mati.

Kisah ini terakhir disebut narcissme. Narcissme atau diindonesiakan biasa disebut narsisme. Sebuah gejala berlebihan dalam mencintai diri sendiri. Tak salah memang mencintai diri sendiri lebih penting. Itu fitrah bagi manusia. Tapi yang salah kalau sudah berlebihan (ghuluw). Perasaan cinta, senang, atau bangga (ujub atau riya’) pada diri sendiri secara berlebihan maka akan memerosokan dirinya sendiri ke jurang.

photo
Seorang warga berswafoto dengan latar belakang jembatan Ponulele yang ambruk di pantai Talise, Palu Sulawesi Tengah, Selasa (16/10).

Berkaca pada diri sendiri, penting. Sebagai solusi sebelum melihat, merasakan, dan menyintai orang lain. Artinya, kemampuan diri, tak bisa dipaksakan untuk menyaingi orang lain. Atau istilahnya, baju sendiri, tak akan sama bila dipakai orang lain, begitu sebaliknya. Dalam Agama Islam disebut qonaah: bersyukur apa yang sudah ditetapkan Allah subhana watala. Atau bersabar dengan ketentuan yang telah ditakdirkan.

Lebih tak relevan lagi bila gejala narsis tersebut menggelayuti diri sendiri dalam keadaan apapun. Rasa eksklusivitas diri sendiri merasa lebih menonjol, lebih hebat dibandingkan yang lain. Diri kita merasa lebih unggul, lebih tinggi, lebih berpendidikan, lebih tampan, lebih cantik, lebih derajatnya, dan lebih-lebih lainnnya.

Padahal, bila kita olah rasa cinta pada diri sendiri dalam bermuamalah (bersosial). Tidak menghiasinya dengan sifat egoisme tapi sebaliknya melonggarkan diri dengan sifat altruisme (menolong orang lain). Maka modal itu dapat menular pada kehidupan kita terhadap orang lain. Kita dapat pula mencintai (menghargai) orang lain, sebagaimana kita dapat mencintai diri kita sendiri. Itu namanya rendah hati, bukan rendah diri.

Tony Raharjo dalam bukunya Larger than Life (2007) mengatakan, ukuran termudah cinta diri berlebih dan cinta diri sewajarnya adalah berapa banyak orang yang mencintainya. Semakin sedikit orang yang mencintainya, bisa jadi semakin besar kadar narcissme dalam dirinya.

Menurut dia, sederhana saja untuk melihatnya. Ia memberikan resep, sekarang mungkin kita bisa memulai menghitung diri. Jangan-jangan kadar narcissme pada diri kita termasuk tinggi. Kita coba menghitung kata ganti yang sering kita gunakan. Berapa banyak orang menggunakan kata “aku”, “diriku”, “milikku”, atau juga “kalau bukan saya”, “kalau saya tidak melakukannya”, dan kata atau kalimat pararelnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement