REPUBLIKA.CO.ID, Wajah Gulbachar Jalilova (54 tahun) terkejut. Matanya membulat menatap ke layar besar. Di hadapan dia terpampang satu foto memperlihatkan beberapa orang Uighur berpakaian seragam merah sedang mengantre makanan. Suaranya langsung meninggi, "No! No!" Ia menggeleng berkali-kali sambil nyerocos panjang lebar berbahasa Turki.
Seyit Abdulkadir Tumturk, rekan Jalilova, menjelaskan, "Foto itu bukan sebenarnya. Tidak ada seperti itu," kata Abdulkadir dengan bahasa Inggris beraksen Turki.
Jalilova, Abdulkadir, dan Seyit Tumturk adalah perwakilan Majelis Nasional Turkistan Timur yang berkunjung ke kantor redaksi Republika, Jumat (11/1) sore. Dari ketiga orang ini, hanya Abdulkadir yang aktif berbahasa Inggris menjelaskan, sementara Tumturk dan Jalilova membutuhkan penerjemah untuk menjelaskan.
Kemudian, foto kedua diperlihatkan. Beberapa peserta kamp Uighur Cina sedang bermain bola voli di lapangan. Suara Jalilova makin kencang seolah memprotes aksi di foto. Ia setengah berteriak kepada Sayit Tumturk yang duduk tak jauh darinya. Tangan kanannya memberi isyarat.
Abdulkadir mengatakan, "Foto itu bagaikan timur dan barat dengan kenyataan aslinya," kata dia. Jalilova adalah eks penghuni kamp Uighur Cina Xinjiang. Ia mengaku baru bebas pada September kemarin setelah 16 bulan ditahan tanpa alasan yang jelas.
Foto ketiga dan keempat diperlihatkan, berisi ruang kelas berisi belasan warga Uighur pria dan wanita duduk rapi. Foto kelima memperlihatkan deretan warga Uighur sedang mengikuti kursi pelatihan. Jalilova makin terbelalak seolah mengatakan semua foto itu bohong.
"Saya tidak berolahraga di sana, keluar dari kamp, saya harus dirawat di rumah sakit karena badan penuh kuman. Tubuh saya harus disuntik dengan vitamin untuk menguatkan," ujar dia seperti disampaikan Abdulkadir.
Jalilova ditangkap aparat Cina di Kota Urumqi, Xinjiang. Ia keturunan Uighur, tapi berkewarganegaraan Kazakshtan. Sudah 20 tahun ia berbisnis melintas perbatasan Kazakhstan-Cina Xinjiang. Saat ditangkap, ia bingung dengan tuduhannya: mentransfer dana ilegal 17 ribu yuan dari Cina dan Turki ke Xinjiang. Ia pun dijebloskan ke kamp.
"Ketika saya berada di kamp, saya memberi tahu mereka bahwa saya adalah orang asing dan bahwa saya tidak melakukan kesalahan," kata dia.
Hal yang membuat Jalilova semakin sedih adalah karena ia harus terpisah dengan anaknya. Ia juga tak bisa berkomunikasi langsung dengan anaknya. Anaknya hanya bisa mengirim surat ke kamp.
"Kami diberi tahu bahwa kami tidak memiliki hak di sana. Kami tidak memiliki hak untuk melakukan panggilan telepon, kami seperti orang mati," ujarnya bercerita.
Dari pengakuan Jalilova, kondisi kamp penuh dengan penyiksaan. Ia lalu memperlihatkan beberapa dokumen berbahasa Cina dan Inggris yang katanya berisi keterangan penangkapan dia. Namun, Jalilova menolak dokumen itu direkam ataupun digandakan pers. Ia tak memberi alasan tertentu. Hanya menolak menggeleng.
Di kamp, Jalilova hidup di dalam ruangan berukuran 7 x 3 x 6 meter tanpa jendela. Kamar yang sangat pengap dan gelap karena diisi 40-50 perempuan.
"Mereka mengikat logam seberat 5 kilogram di kaki kami sebagai cara hukuman. Tidur kami bergantian karena terlalu banyak orang, tak bisa seluruhnya rebah. Sebagian rebah, sebagian bangun. Tidur hanya empat jam semalam," ujar Jalilova.
Pendidikan vokasi yang disebut Cina dalam berita sepekan lalu, menurut Jalilova, lebih berupa pemberian ajaran-ajaran komunis, baik itu berupa lagu-lagu maupun undang-undang komunis. Semua wajib dihafal, wajib dipelajari, bahkan dijadikan ujian. Ada kalanya mereka harus duduk di dalam ruangan, menatap televisi yang berisi tayangan Presiden Cina Xi Jinping, belasan jam lamanya.
Jalilova juga mengaku kerap dipukuli selama berada di dalam kamp. Berat badannya pun turun drastis. Saat pertama kali masuk, berat badannya mencapai 76 kilogram. Dalam sebulan, kata dia, berat badannya turun lebih dari 20 kilogram.
"Tujuan akhir dari kamp-kamp konsentrasi itu adalah untuk menghilangkan orang-orang Uighur," kata dia.
Pernyataan Gulbachar Jalilova ini bertentangan dengan klaim Pemerintah Cina, tetapi sesuai dengan kelompok advokasi masyarakat Uighur dan hak asasi manusia lainnya.
Jalilova dikeluarkan dari kamp setelah upaya lobi yang berkelanjutan oleh keluarganya dan Pemerintah Kazakstan. "Saya sudah dibebaskan dari kamp konsentrasi tiga bulan lalu, tetapi setiap hari situasi di kamp konsentrasi masih terbayang-bayang di pelupuk mata saya," ujarnya. "Tangisan rakyat Uighur masih terngiang di telinga saya."
Berdasarkan data yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkirakan lebih dari satu juta etnis minoritas Muslim Uighur telah ditahan tanpa persetujuan mereka di pusat penahanan tidak resmi di Xinjiang. Pemerintah RRC mengatakan, kamp-kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan yang menyediakan pelatihan bahasa dan pendidikan ulang bagi para ekstremis.