Sabtu 12 Jan 2019 17:39 WIB

Melanggarkah Gestur Jari Anies dan Ridwan Kamil?

Salam dua jari Anies dan satu jari Emil dinilai tidak melanggar.

Rep: Muhammad Ikhwanuddin/ Red: Karta Raharja Ucu
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan orasi pada wisuda Institut STIAMI di Gedung Balai Samudera, Jakarta Utara.
Foto: dok. Institut STIAMI
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan orasi pada wisuda Institut STIAMI di Gedung Balai Samudera, Jakarta Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gesture jari yang dilakukan sejumlah kepala daerah sedang ramai diperbincangkan lantaran dinilai melanggar. Namun perlu ada pemahaman konteks ketika terdapat kepala daerah yang menggunakan gesture jari. Seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang dilaporkan ke Bawaslu saat mengacungkan dua jari dalam acara internal Partai Gerindra.

Anies tak sendiri, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan sejumlah pejabat lain juga dilaporkan. Namun, melanggarkah gestur jari yang dilakukan para pejabat publik tersebut?

"Soal Anies Baswedan, kita harus lihat konteks secara keseluruhan dari posisi dan jenis acara. Kalau itu forum Gerindra dari segi hukum formal tidak masalah," kata Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Yusa Djuyandi saat berbincang dengan Republika.co.id, Jumat (11/1).

Ia menilai, ancaman hukuman tiga tahun penjara terhadap Anies tidak relevan. Mengingat Anies hanya menghadiri acara internal partai, bukan forum terbuka.

Yusa juga menilai gestur yang dilakukan Ridwan Kamil bukan merupakan suatu pelanggaran. Menurutnya, gestur 'satu jari' Ridwan Kamil diacungkan pada acara internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

"Emil juga dilaporkan, padahal tidak ada konteks yang salah karena acaranya internal partai," kata dia.

Sebagai pejabat publik, kepala daerah dinilai harus netral menjelang pemilu. Namun di sisi lain, kepala daerah yang diusung partai politik saat pilkada, tidak bisa serta merta meninggalkan realitas politik.

Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Yusa Djuyandi berpendapat, kepala daerah adalah pejabat yang disumpah oleh publik, bukan golongan tertentu. "Kalau bicara etika politik harusnya kepala daerah bisa netral. Ketika dia dilantik, kepala daerah disumpah oleh publik bukan pejabat partai," ujar dia.

Namun menurut dia, dalam menyatakan sikap politik para kepala daerah tidak bisa menanggalkan dukungannya terhadap kelompok tertentu. Penyebabnya karena pencalonan kepala daerah yang masih diusung parpol pada pilkada.

"Karena kita tahu ketika kepala daerah tak acuh terhadap partai maka dia akan bermasalah dengan partainya, bisa-bisa tidak lagi mendukungnya nanti. Apalagi kalau ingin mencalonkan diri kembali," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement