Sabtu 12 Jan 2019 05:46 WIB

Di Balik Mahalnya Tarif Pesawat

Industri penerbangan di Tanah Air sedang mengalami fase bisnis yang berat.

Pesawat Citilink
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Pesawat Citilink

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rahayu Subekti

JAKARTA -- Industri penerbangan membuka awal tahun 2o19 dengan kontroversi tarif pesawat yang dinilai mahal. Publik menyatakan protes atas tingginya tarif pesawat bahkan di saat musim liburan sudah selesai.

Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta Kementerian Perhubungan tak tinggal diam atas banyaknya keluhan masyarakat terhadap tarif pesawat. Kemenhub diminta segera merespons karena banyak konsumen merasa tarif pesawat naik hingga dua kali lipat.

Bamsoet mendorong Kemenhub untuk memanggil seluruh maskapai penerbangan. "Tujuannya untuk menjelaskan mengenai kenaikan tiket pesawat," kata Bamsoet dalam keterangannya, Jumat (11/1).

Selain itu, Kemenhub perlu meminta penjelasan kepada maskapai mengenai penerapan harga bagasi. Menurut dia, hal itu penting dilakukan agar tidak menimbulkan persepsi sebagai ketidakberpihakan terhadap masyarakat.

"Saya juga mendorong Kemenhub untuk meminta seluruh maskapai penerbangan mematuhi ketentuan tarif harga atas," ujarnya.

Tarif pesawat memang sedang dikeluhkan masyarakat. Konsumen yang sering menggunakan jasa transportasi udara menganggap tarif masih terlalu tinggi.

Padahal, musim libur Natal dan Tahun Baru 2019 sudah lewat. Petisi untuk menurunkan tarif pesawat pun digulirkan.

Tingginya biaya operasional menjadi salah satu alasan maskapai penerbangan memasang tarif mendekati batas atas. Tarif belum ditekan ke batas bawah demi menghindari kerugian.

Garuda Indonesia menjadi salah satu pihak yang disinggung dalam petisi tersebut. VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan mengatakan, beban operasional menjadi alasan Garuda menjual tiket pada kisaran harga batas atas seperti saat ini.

Dia menjelaskan, harga avtur menjadi salah satu beban yang besar dalam biaya operasional. "Avtur sudah naik 30 persen dibandingkan negara tetangga. Avtur Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan negara tetangga," ujar Ikhsan, Jumat (11/1).

Ikhsan mengatakan, biaya operasional lainnya, seperti pajak bandara, juga mengalami kenaikan. Dengan kondisi ini, kata dia, maskapai harus berani mengambil pilihan untuk terus eksis atau bangkrut.

"Makanya itu, harga yang harus kami jual di batas atas. Harga promo sedang direm, tapi untuk rute-rute tertentu masih kami terapkan," Ikhsan menjelaskan.

Faktor lainnya, kata dia, Garuda Indonesia merupakan maskapai dengan golongan full service yang berarti penumpang membayar layanan yang diberikan.

Dia mengungkapkan, kondisi maskapai penerbangan sedang megap-megap. Kerugian tak hanya dialami Garuda, tetapi juga banyak maskapai lainnya. Meski begitu, Ikhsan menegaskan, Garuda tak perlu mengumumkan kinerja keuangan karena bukan perusahaan terbuka.

"Tapi, dari sembilan maskapai, tujuh di antaranya rata-rata dalam tanda kutip sudah megap-megap," ujar dia.

Pengamat dari Arista Indonesia Aviation Center, Arista Atmajati, mengatakan, bisnis penerbangan di Indonesia saat ini banyak yang sudah masuk ke tahap kerugian. Menurut dia, kerugiannya bahkan sudah masuk kategori berbahaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement