Rabu 09 Jan 2019 11:01 WIB

KPAI Apresiasi Presiden Terkait Rencana Pendidikan Bencana

Tugas mengedukasi guru dan siswa adalah bagian dari tugas Kemendikbud.

Rep: Mabruroh/ Red: Gita Amanda
Dampak kerusakan akibat bencana Tsunami di Pantai Tanjung Lesung, Banten, Jawa Barat, Ahad (23/12).
Foto: Republika/Prayogi
Dampak kerusakan akibat bencana Tsunami di Pantai Tanjung Lesung, Banten, Jawa Barat, Ahad (23/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengapresiasi kebijakan Presiden Joko Widodo terkait pendidikan kebencanaan yang dibahas dalam sidang kabinet paripurna. Menurutnya memang sangat penting mengedukasi guru dan siswa-siswa untuk tanggap apabila terjadi bencana.

“Karena bencana ini bisa saja terjadi sewaktu-waktu di wilayahnya,” ujar Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (9/1).

Retno melanjutkan, tugas mengedukasi guru dan siswa adalah bagian dari tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama (Kemenag) dan Kemenristekdikti. Retno berharap kementerian dapat segera membuat program agar guru maupun siswa dapat tanggap terhadap bencana yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi.

Kendati demikian lanjutnya, ia meminta agar pendidikan kebencanaan ini tidak menjadi mata pelajaran tersendiri. Mengingat beban mata pelajaran dan kurikulum di jenjang SD sampai SMA/SMK yang sudah sangat berat.

Misalnya terang dia, materi pendidikan kebencanaan bisa dimasukan dalam mata pelajaran yang sudah ada, seperti IPS/IPA di SD, IPS/IPA terpadu pada SMP dan Fisika dan Geografi untuk jenjang SMA/SMK. Pada mata pelajaran tersebut, ada materi tentang bumi, gempa tektonik, gempa vulkanik, dan tsunami.

“Jadi, pengetahuan dan informasi tentang kebencanaan dan upaya menghadapinya bisa ditambahkan saat membahas materi-materi terkait di beberapa mata pelajaran tersebut,” terangnya.

Kemudian, lanjut Retno simulasi atau teknis apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Terkait simulasi ini sambungnya, pemerintah wajib melatih para guru dan kepala sekolah di berbagai daerah agar dapat mempraktikan simulasi bencana di sekolahnya secara rutin, misalnya sebulan sekali. 

Tujuannya agar anak-anak sejak dini sudah dididik untuk siap menghadapi bencana. Anak menjadi paham apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi dimanapun, terutama di sekolah. “Ini sangat penting untuk meminimalkan korban,” ucapnya.

Selanjutnya, Pemerintah daerah juga wajib memastikan jalur evakuasi dan titik kumpul ada di semua sekolah. Sebab jika jalur evakuasi tidak ada, maka simulasi bencana akan menjadi sulit dipraktikan. 

“Karena, saat saya melakukan pengawasan kasus di berbagai daerah dan berkunjung ke sekolah, saya menemukan masih banyak sekolah tidak memiliki jalur evakuasi dan titik kumpul, padahal peluang bencana terjadi saat anak-anak berada di sekolah sangat besar,” ungkap Retno.

Terakhir tambah Retno, Ujian Nasional (UN) 2019 hanya tinggal tiga bulan lagi. Sementara di sekolah-sekolah darurat masih banyak sekolah tidak mampu menyelesaikan kurikulum nasional karena situasi dan kondisi sekolah darurat yang memang serba darurat juga proses pembelajarannya serta sarana dan prasarana pembelajarannya yang serba kekurangan. 

Oleh karena itu KPAI mendorong Kemdikbud dan Kemenag  melaksanakan penilaian dalam Ujian Nasional (UN) dengan menguji soal-soal UN 2019 di wilayah-wilayah terdampak bencana dibedakan dengan sekolah yang tidak mengalami dampak bencana. Menurutnya, UN di sekolah-sekolah darurat semestinya di sesuaikan dengan batas pembelajaran yang mampu di selesaikan para siswa di sekolah-sekolah darurat tersebut.

Selain itu, untuk para siswa yang pindah sekolah akibat bencana di wilayahnya, juga harus dipertimbangkan untuk UNnya disesuaikan dengan batas pembelajaran yang mampu diselesaikannya. “Jangan sampai, anak-anak di wilayah bencana, diuji dengan materi yang tak pernah diajarkan atau tak pernah diterimanya,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement