REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana akan memberikan draf pertanyaan kepada masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) sepekan sebelum debat pilpres pertama pada 17 Januari 2019. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menilai rencana tersebut akan menciderai wajah demokrasi.
''Peraturan ini membuat demokrasi kita semakin mundur ke belakang, demokrasi yang sedang ingin kita bangun akan tercoreng dengan pemberian draf pertanyaan di acara debat ini,'' kata Ketua KAMMI, Irfan Ahmad Fauzi melalui keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Selasa (8/1).
Irfan membandingkan mekanisme debat pilpres tahun ini dengan debat mahasiswa saat pencalonan presiden BEM di kampus-kampus. Di level kampus saja, seorang calon presiden BEM akan dikuliti visi misinya tanpa tahu sebelumnya apa yang akan ditanyakan kepadanya.
Menurut Irfan, seorang pemimpin harus paham banyak hal tentang apa yang akan dilakukannya. Di situlah mereka akan diuji kemampuannya. Tapi jika pertanyaan diberitahukan terlebih dahulu, maka para kandidat sama saja seperti menghafal materi. Dan, calon tersebut bisa saja tidak tahu apa yang dikatakannya.
Karena itu, kata Irfan, KAMMI meminta agar rencana pemberian kisi debat capres itu dievaluasi. Sebab, rencana tersebut sangat bertentangan dengan logika publik yang menginginkan debat pilpres kaya dengan gagasan.
''Kami meminta peraturan ini segera dievaluasi, ini sangat mengganggu logika kita sebagai masyarakat yang menyaksikan. Kita menginginkan pemimpin yang kaya dengan ide gagasan,'' katanya. ''Kalau pertanyaan diberitahukan terlebih dahulu, maka tidak perlu lagi acara debat.''
Ikuti Whatsapp Channel Republika
