REPUBLIKA.CO.ID, Saat ini, masyarakat tengah dihebohkan atas kasus prostitusi online. Apalagi, praktik prostitusi seperti itu melibatkan sejumlah artis atau model dan dengan tarif yang fantastis puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Teranyar, menyusul temuan Polda Jawa Timur pada 5/1/2019 atas kasus prostitusi online yang melibatkan sejumlah artis ibukota di Surabaya. Sesungguhnya fenomena ini sudah juga diantisipasi sejak sekitar 12 tahun lalu oleh tim perumus Undang-Undang Pornografi.
Menurut Azimah, salah seorang tim perumus, fenomena prostitusi online sangat dekat dan erat kaitannya dengan pornografi. Kata dia, umumnya bagian-bagian tubuh yang sensual hingga ketelanjangan dan alat kelamin turut dipublikasikan melalui media bersamaan dengan upaya menawarkan jasa atau layanan prostitusi itu sendiri.
"Oleh karena itu, di dalam Undang-Undang Pornografi, layanan semacam ini dikategorikan jasa pornografi dan termasuk dalam pasal larangan,” ujar Azimah dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Selasa (8/1).
Jurnalis menyimak pernyataan keterangan saat rilis kasus jaringan prostitusi online di kantor Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (8/6).
Azimah mengatakan, bahwa dalam Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi aturan terkait jasa pornografi ini diatur pada Pasal 4 ayat (2), yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”
Sementara itu, untuk sanksinya termasuk kategori sanksi pidana pornografi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No.44 tahun 2008 tentang Pornografi, yang berbunyi: “ Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
Apalagi, saat ini, isu prostitusi online menjadi viral di media akibat bayaran yang cukup fantastis yaitu Rp 25 juta, Rp 80 juta bahkan hingga Rp 300 juta rupiah untuk sekali booking. Azimah berharap, aparat penegak hukum dapat bersikap tegas dan memberi hukuman yang membuat pelakunya jera. Karena jika tidak, dikhawatirkan justru fenomena ini menjadi makin massif dan mempengaruhi anak-anak dan remaja.
“Iming-iming untuk bisa hidup glamor, populer, tanpa harus bersusah payah atau kerja keras, ditambah dengan penegakan hukum yang lemah, membuat anak-anak dan remaja rentan terjerumus dalam bisnis prostitusi semacam ini. Untuk itu, semua pihak harus harus serius mensikapinya. Terutama aparat penegak hukum agar dapat memberi hukuman yang menjerakan para pelakunya,” ujar Azimah.
Selain itu, Azimah juga setuju dan mendukung para pengguna jasa prostitusi juga diatur oleh DPR dalam RUU KUHP agar ada sanksi hukum yang membuat mereka jera. Menurut Ketua Perhimpunan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP) ini, keberadaan sanksi bagi para pengguna layanan prostitusi ini penting sebagai bagian dari kontrol masyarakat dan juga mencagah munculnya pelaku-pelaku baru.
“Dengan adanya sanksi bagi pengguna layanan prostitusi baik online maupun langsung, setidaknya ada dua keuntungan. Yaitu pertama, dapat membuat pelakunya jera sehingga tidak melakukan lagi perbuatan tersebut, dan kedua, mencegah pelaku baru atau yang mau coba-coba jadi mengurungkan/membatalkan niatnya karena takut dihukum,” tegas Azimah.
Hal ini mengingat menjamurnya prostitusi yang ada di masyarakat bisa jadi karena memang “permintaan” (demand) nya ada dan tidak terjerat hukum. Selain juga karena dampak dari pengaruh pornografi yang potensial mendorong seseorang untuk melampiaskan dalam perilaku di dunia nyata sehingga mendorong bisnis prostitusi tak pernah sepi.