Senin 07 Jan 2019 10:02 WIB

Alasan Cina Tetap Lanjutkan Program Kamp Uighur

Cina menyatakan Barat seharusnya belajar mereka tentang HAM dan demokrasi.

Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas ilmu hukum, Jumat (3/1/2019).
Foto: Antara/M Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, mengikuti kelas ilmu hukum, Jumat (3/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Yeyen Rostiyani

URUMQI -- Derasnya kritik tak akan menghentikan langkah Cina untuk menghentikan program khusus untuk bangsa Uighur di Provinsi Xinjiang. Cina menilai, keberadaan program tersebut berhasil dalam proses deradikalisasi.

Baca Juga

Pekan lalu, Pemerintah Cina mengatur kunjungan untuk sejumlah kecil wartawan termasuk Reuters. Para wartawan diajak memasuki fasilitas yang disebut Cina sebagai pusat pendidikan kejuruan.

Setelah kunjungan wartawan, giliran para diplomat dari 12 negara non-Barat yang berkunjung. Menurut pejabat Xinjiang dan diplomat asing, mereka yang diundang antara lain diplomat dari Rusia, Indonesia, India, Thailand, dan Kazakhstan. Ketika dihubungi Republika, Dubes Indonesia untuk Cina, Djauhari Oratmangun, belum bersedia berkomentar mengenai kunjungan para diplomat ke Xinjiang.

Reuters melaporkan, pejabat tinggi Xinjiang termasuk Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir menampik tudingan yang disebut sebagai "kebohongan yang berbahaya" tentang fasilitas tersebut. Zakir mengatakan, fasilitas tersebut "amat sangat efektif" dalam menekan ekstremisme dengan cara mengajari warga tentang hukum dan membantu mereka berbahasa Mandarin.

"Seiring berjalannya waktu, rakyat dalam mekanisme pelatihan edukasi ini akan makin berkurang dan terus berkurang," ujar Zakir. Namun, ia mengaku tak bisa menyebutkan berapa jumlah pasti orang-orang yang berada di fasilitas tersebut.

"Satu juta orang, angka itu kedengarannya mengerikan. Satu juta orang berada di mekanisme edukasi --itu terdengar tidak realistis. Itu benar-benar rumor," katanya sambil menekankan, fasilitas edukasi tersebut hanya bersifat sementara.

Menurut para pejabat Cina, semakin hari jumlah orang-orang yang masuk ke kamp fasilitas edukasi akan semakin berkurang.

Dilxat Raxit, juru bicara kelompok Uighur pengasingan yang berpusat di Munich, World Uyghur Congress, mengatakan, Pemerintah Cina menggunakan ekstremisme sebagai alasan untuk memenjara warga.

"Yang ingin mereka lakukan justru untuk menghancurkan identitas uighur," kata Raxit.

Kritik dan keprihatinan dialamatkan kepada fasilitas edukasi Uighur. Mereka menyebut, fasilitas tersebut sebagai penahanan massal, dan adanya pengintaian secara ketat terhadap sebagian besar minoritas Muslim Uighur dan kelompok Muslim lain yang menjadikan Xinjiang sebagai kampung halaman mereka.

Pada Agustus, sebuah panel hak asasi manusia (HAM) PBB telah menerima laporan yang tepercaya bahwa ada satu juta orang Uighur dan kelompok minoritas lain di kawasan Cina barat ditempatkan di kamp. Kamp tersebut disebut mirip dengan "kamp wajib militer besar-besaran".

Kelompok advokasi HAM dan warga yang pernah ditahan di kamp tersebut menyatakan kondisi kamp menyedihkan. Orang-orang yang berada di sana menjadi sasaran kekerasan. Menurut mereka, orang-orang di sana tidak menerima pendidikan kejuruan seperti yang selama ini digaungkan Pemerintah Cina.

Untuk menangkis segala laporan tersebut, Pemerintah Cina mengajak para wartawan ke tiga fasilitas, yaitu Kashgar, Hotan, dan Karakax. Semua lokasi tersebut di Xinjiang utara yang padat dengan populasi Uighur, tempat sejumlah kekerasan terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Seorang guru di fasilitas tersebut menyatakan dalam bahasa Mandarin, jika ada yang melarang menyanyi dan menari di pernikahan atau melarang menangis di pemakaman. Maka itu, tanda pemikiran ekstremis. Para "murid" pun mencatat ucapan itu di buku.

Sebagian dari "murid" itu sejenak menatap para wartawan yang datang. Beberapa orang tampak tersenyum canggung. Sedangkan, murid lain terus menatap buku mereka. Semua orang Uighur. Tak seorang pun terlihat mengalami perlakuan menyimpang.

Sejumlah warga diperbolehkan berbicara dengan para wartawan. Namun, semua proses itu diawasi setiap saat. Rata-rata mengaku berada di kamp itu atas keinginan sendiri. Banyak jawaban menggunakan bahasa yang sama, tentang "terinfeksi pemikiran ekstremis".

"Pada saat saya terinfeksi pemikiran ekstremis, saya memakai cadar," ujar Pazalaibutuyi (26 tahun).

Setelah aparat datang dan berbicara ke warga desanya, ia berkata, "Saya menyadari kesalahan saya."

Sedangkan di Kashgar, Osmanjan mengaku pernah menyulut kebencian etnis. Aparat pun datang ke desanya dan menyarankan dirinya ikut kamp edukasi.

"Di bawah pengaruh pemikiran ekstremis, saat non-Muslim datang ke toko saya, saya malas melayani mereka," ujarnya dalam bahasa Mandarin yang terbata-bata.

Reuters menuliskan, tidaklah mungkin untuk memeriksa silang cerita mereka secara independen. Meski, semua orang yang diwawancara mengaku tidak diberi tahu akan kedatangan para wartawan.

Deputi ketua Partai Komunis Kashgar Zark Zurdun, mengatakan, bahwa "stabilitas adalah HAM terbaik."

"Barat seharusnya belajar dari kami" tentang bagaimana mengalahkan ekstremisme, ujarnya. Ia pun menampik bahwa budaya Uighur terancam punah.

"Apakah Kazakh lenyap di Uni Soviet ketika mereka semua harus belajar Bahasa Rusia?" tanyanya. "Tidak. Jadi, di sini pun Uighur tidak akan lenyap."

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement