REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ali Yusuf, Umi Nur Fadhilah
JAKARTA — Pemerintah Indonesia diminta serius menyoroti keberadaan Visa Facilitation Service (VFS) Tasheel yang melakukan rekam biometrik bagi warga negara Indonesia yang akan menunaikan ibadah umrah. Terutama, terkait izin operasionalnya untuk mengambil data calon jamaah umrah melalui rekam biometrik.
Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan In-Bound Indonesia (Asphurindo), Magnatis Chaidir, memastikan VFS Tasheel memiliki izin. Akan tetapi, kata dia, izinnya bukan untuk mengambil data jamaah melalui rekam biometrik.
"Ada legalitasnya melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) cuma pengurusannya untuk perjalanan wisata. Jadi, bisa dibilang tidak sesuai legalitasnya karena izinnya wisata, tapi pada praktiknya mengambil data jamaah lewat rekam biometrik," kata Magnatis, Ahad (6/1).
Magnatis menuturkan, karena jika VFS Tasheel ingin mengambil data untuk calon jamaah umrah, minimal harus ada izin dari dua kementerian terkait, yaitu Kemenag dan Kementerian Dalam Negeri. "Berarti dia (VFS Tasheel) harus mengantongi izin resmi dari Kementerian Agama yang mengurusi ibadah haji dan umrah. Dan, karena ini juga menyangkut data kependudukan, Kemendagri harus terlibat. Jadi, mereka harus meminta perizinan ke sana," tegasnya.
Asphurindo menilai apa yang dilakukan VFS Tasheel merupakan tindakan ilegal karena belum mengantongi izin dari kedua kementerian itu. "Jadi, menurut saya mereka itu melakukan pekerjaan mengambil data tidak legal karena belum mengantongi izin dua Kementerian Agama dan Kemendagri," katanya.
Magnatis memastikan, keberadaan VFS Tasheel sangat meresahkan calon jamaah. Karena infrastuktur yang dimiliki VFS Tasheel dan sistem lainnya, kata dia, belum siap untuk melakukan pekerjaan perekaman biometrik. Oleh karena itu, pihaknya meminta Kemenag dan Kemendagri turun tangan mengatasi masalah ini karena menyangkut nasib jutaan umat.
"Pada dasarnya, jika ini memang suatu aturan dari Kerajaan Saudi yang ingin diterapkan di Indonesia selama prosedurnya memang benar dan tidak menjadi permasalahan buat masyarakat, kita bisa terima," tegas Magnatis.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily meminta agar pemerintah melakukan pembicaraan dengan Pemerintah Arab Saudi untuk meninjau keberadaan VFS Tasheel di dalam wilayah Indonesia. Pihaknya berharap, Raja Salman sebagai pemegang otoritas absolut mau memerintahkan jajarannya untuk meninjau ulang keberadaan Kantor VFS Tasheel yang dinilai memberatkan jamaah umrah di Indonesia.
"Terlebih keberadaan kantor VFS Tasheel tidak memiliki payung hukum yang menjadi rujukannya dalam sistem perundang-undangannya di Indonesia," kata dia.
Ace mengaku dilema terkait keberadaan VFS Tasheel yang merekam bimoterik calon jamaah haji. "Masalahnya kalau jamaah tidak ke VFS Tasheel, mereka nanti tidak akan bisa diberangkatkan ke Arab Saudi sehingga jamaah tidak dapat menjalankan ibadah umrah," katanya.
Hingga kemarin, Kemenag belum memutuskan terhadap keberadaan VFS Tasheel yang legalitasnya dipertanyakan asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU). Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kementerian Agama Arfi Hatim mengatakan, masalah legalitas yang harus dimiliki VFS Tasheel bukan urusan dari Kemenag.
Arfi meminta Republika menghubungi Kasubdit Pemantauan dan Pengawasan Umrah dan Haji khusus Noer Alya Fitra. Noer Alya Fitra menyatakan, Kemenag melalui Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Kementerian sedang melakukan komunikasi dengan BKPM.
"Kami sudah konsultasikan ke BKPM tentang masalah ini, mereka sedang telaah dengan unit terkait dan akan ada pertemuan membahas legalitas ini," kata Alya Noer.
Meski legalitasnya sedang dibahas, kata dia, untuk sementara ini jika mau berangkat umrah calon jamaah harus harus melakukan rekam biometrik ke VFS Tasheel. "Jika jamaah tidak mau, ya tidak apa-apa berarti tidak berangkat umrah," Alya menyarankan.
Fauzi dari perwakilan VFS Tashel Makassar, Sulawesi Selatan, menyatakan, sudah bukan saatnya menanyakan legalitas VFS Tasheel yang sudah tiga pekan lebih bekerja merekam biometrik calon jamaah umrah. "Saya rasa legalitasnya semua sudah oke. Apalagi, itu urusan Kerjaan Arab Saudi dengan Pemerintah Negara Republik Indonesia," katanya.