Sabtu 05 Jan 2019 21:20 WIB

Soal Isu Tujuh Kontainer, Pengamat: Ada Permainan Retorik

Gun Gun menyarankan Arief dan KPU bertemu.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Muhammad Hafil
nalis Komunikasi Politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto menyampaikan pendapatnya dalam diskusi Polemik di Jakarta, Sabtu (5/5).
Foto: Republika/Prayogi
nalis Komunikasi Politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto menyampaikan pendapatnya dalam diskusi Polemik di Jakarta, Sabtu (5/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Komunikasi Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto menanggapi isu mengenai tujuh kontainer surat suara yang sudah dicoblos. Pola isu yang disampaikan oleh salah satu politikus Partai Demokrat Andi Arief, menurut Gun Gun memiliki satu pilihan permainan retorik yang kecenderungannya kerap kali polanya berbentuk demonstratif.

"Jadi pilihan retorik demonstratif itu ditandai dengan ciri agresivitas verbal, yaitu menyerang dengan kata-kata dan di situ saya melihat guliran opini publik yang disebut dengan memunculkan aspek ubikuitas atau menghadirkan isu di mana-mana," ungkapnya kepada Republika.co.id, Sabtu (5/1).

Aspek ubikuitas, lanjut Gun Gun, biasanya memang butuh pemantik dan pemantiknya itu biasanya dalam musim-musim kontestasi politik seperti saat ini adalah pilihan diksi yang gampang. Kemudian dijadikan bahan polemik.

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute itu memberi contoh penggunaan diksi seperti saat Andi Arief menyebut Prabowo Subianto sebagai 'jenderal kardus'. "Itu (jenderal kardus) kan gampang sekali memantik diskursus publik, kemudian terakhir mengenai tujuh kontainer (surat suara yang sudah dicoblos). Tujuh kontainer itu kan menggambarkan betapa banyak jumlahnya dan pilihan diksi itu pasti disengaja," paparnya.

Kesengajaan tersebut menurut Gun Gun, orientasinya pada dua hal. Pertama adalah ingin membentuk yang disebut dengan stage of brainstorming atau membentuk panggung perbincangan dan di panggung itu orang akan kemudian paling tidak sehari, dua hari, atau bisa seminggu terlibat dalam arus perbincangan yang telah di-setting atau dibuat itu. Hubungannya tentu dengan manajemen isu dan manajemen konflik.

Kedua, biasanya tujuannya itu untuk mendelegitimasi bagi pihak-pihak yang diserang. Contohnya, misalnya delegitimasi terhadap kredibilitas KPU, atau kredibilitas kubu lawan misalnya. Sehingga ada asosiasi dari pikiran publik untuk menganggap bahwa pemilu di Indonesia telah dicurangi.

"Tapi problem yang terakhir itu menurut saya adalah tuduhan yang serius, karena beda dengan pada saat menyerang 'jenderal kardus' itu kan personally, dan itu menyerang Pak Prabowo yang notabene satu kubu dengan Andi Arief," imbuhnya.

Dosen Komunikasi Politik di UIN Jakarta ini menambahkan, meskipun pilihan kata yang digunakan Andi Arief dalam tweet-nya mengenai tujuh kontainer surat suara itu sebenarnya adalah pilihan kata bertanya, tapi di situ stage of brainstorming-nya memang dibuat. "Maksud saya begini, sepertinya memang Andi Arief paham bahwa seperti apa harus mengemas kata-kata yang kecenderungannya agak sulit dipersoalkan secara hukum, begitu kira-kira," jelasnya.

Ia pun menyarankan agar Andi Arief dan KPU melakukan pertemuan atau forum untuk mengklarifikasi apa yang disampaikan oleh Andi Arief tersebut sebelum masuk ke ranah hukum. "Kecuali nanti dia (Andi Arief) tidak dapat mempertanggungjawabkan sumbernya siapa, itu kan masuknya hoaks. Kalau hoaks kan sudah jelas ada aturan mainnya," kata Gun Gun. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement