Sabtu 05 Jan 2019 08:05 WIB

8 Rumah Sakit di Bogor Putus Kontrak dengan BPJS Kesehatan

Pemutusan kerja sama ini tidak ada kaitannya dengan isu tunggakan BPJS Kesehatan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Andi Nur Aminah
BPJS Kesehatan.
Foto: ANTARA FOTO
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Di hari pertama 2019, sejumlah rumah sakit swasta di Kabupaten dan Kota Bogor diputus kontrak kerja samanya dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pemutusan kontrak kerja sama disebabkan delapan rumah sakit tersebut belum memenuhi syarat akreditasi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 99 tahun 2015.

“Pemutusan kerja sama ini tidak ada kaitannya dengan isu tunggakan BPJS Kesehatan,” kata Kepala Humas Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ASSRI) Bogor Jani Ginting, kepada Republika.co.id, Jumat (4/1) malam.

Delapan rumah sakit yang memutus kontrak kerja sama tersebut antara lain RS Citama, RS Bina Husada, RSIA Annida, RS dr Sismadi, RSIA Permata Pertiwi, RSIA Bunda Suryatnu, dan RSIA Sawojajar. Dari delapan rumah sakit itu, dua dari yang disebutkan terakhir berada di Kota Bogor, dan sisanya di wilayah Kabupaten Bogor.

Akreditasi, kata Jani, bisa berupa sertifikasi kelayakan sarana dan prasarana rumah sakit yang mengacu pada standar Kementerian Kesehatan. Menurut dia, akreditasi bisa dinilai dari jumlah dokter, kelayakan alat kesehatan, serta kemampuan manajemen rumah sakit.

Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf menjelaskan, rumah sakit harus memenuhi syarat akreditasi jika ingin bekerja sama untuk menerima pasien BPJS Kesehatan.

Akreditasi tersebut, dia mengatakan, harus dipenuhi pengajuannya paling akhir Juni tahun ini. “Pada 2019 ini, syarat akreditasi mutlak harus dipenuhi,” kata dia.

Menurut dia, akreditasi rumah sakit bukan didasari tentang tipe rumah sakit A, B, dan C. Dulu, kata dia, di Permenkes nomor 71 tahun 2013 disyaratkan wajib akreditasi setelah tiga tahun, lalu kemudian direvisi menjadi lima tahun sesuai dengan Permenkes nomor 99 tahun 2015.

Iqbal menyebut, dalam waktu lima tahun seharusnya pihak rumah sakit sudah memiliki waktu yang cukup untuk mendapatkan akreditasi. Hal itu karena, tujuan sertifikasi akreditasi menjadi indikator jaminan pelayanan pada pasien dan juga standar layanan kesehatan serta keamanan pasien dapat terjaga.

Dalam proses seleksi terhadap rumah sakit yang ingin bermitra dengan BPJS Kesehatan, pihaknya menyebut berbagai elemen harus dipenuhi rumah sakit. Antara lain sumber daya manusia 9 SDM, berupa tenaga media dan staf, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, serta komitmen pelayanan. “Cerminan pelayanan tergambar seperti apa, salah satunya ada di akreditasi itu,” kata Iqbal.

Untuk itu, dia menjelaskan, proses akreditasi rumah sakit tidak melibatkan elemen pemerintah daerah agar tidak ada intervensi pemberian akreditasi. Hal itu diupayakan agar akreditasi yang diberi bisa menjamin pelayanan kesehatan yang bermutu untuk masyarakat seluruhnya.

Terkait isu adanya pemutusan kontrak kerja sama rumah sakit karena adanya tunggakan klaim pembayaran BPJS Kesehatan, ia menyatakan hal itu bukanlah informasi yang benar. Menurutnya hingga saat ini pembayaran klaim pasien BPJS Kesehatan masih berjalan dengan ketentuan yang berlaku.

 

Sebelumnya diberitakan, Bupati Kabupaten Bogor Ade Yasin menegur BPJS Kesehatan untuk segera membayar tunggakan klaim pasien BPJS Kesehatan di sejumlah rumah sakit daerah atau pun swasta. Ade menyebut tunggakan BPJS Kesehatan kepada sejumlah rumah sakit mengganggu kelangsungan operasional rumah sakit. Dari data yang Republika.co.id lansir di situs resmi BPJS Kesehatan, 1 Januari lalu, total nilainya mencapai Rp 207,9 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement