REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana hukuman potong tangan bagi koruptor mengemuka belakangan ini. Hal tersebut setelah Wakil Sekjen MUI Tengku Zulkarnain menyatakan MUI sedang menyiapkan aturan hukuman bagi pencuri dan koruptor sesuai syariat Islam.
"Saya dengan kawan-kawan sudah menggodok bahwa kami akan mengajukan permohonan para maling dan koruptor yang terbukti, baik dengan bukti dan saksi tidak perlu dipenjara melainkan dipotong saja tangannya. Usulan ini akan disampaikan setelah pemilu 2019," katanya saat mengisi Dzikir Nasional Festival Republik 2018: Menebar Kebaikan Menguatkan Kepedulian di Masjid Agung At-Tin, Jakarta Timur, Senin (31/12) malam.
Ia menjelaskan, usulan ini akan diajukan karena per harinya pemerintah Indonesia harus menyediakan Rp 4 miliar untuk memberi makan tahanan koruptor di penjara atau lembaga permasyarakatan termasuk koruptor dan uang makan untuk narapidana tersebut. Artinya pemerintah membutuhkan uang hingga Rp 15 triliun untuk ransum para tahanan termasuk para koruptor.
"Pemerintah memberi uang (sebanyak) itu untuk memberi makan maling," ujarnya. Kendati demikian, ia pesimistis usulan itu akan dikabulkan oleh dewan perwakilan rakyat (DPR).
Belakangan, wacana yang dikemukakan oleh Tengku Zulkarnain ini dikoreksi oleh pengurus MUI lainnya. Menurut Ketua Bidang Infokom MUI KH Masduki Baidlowi, MUI sama sekali tidak pernah membahas, mewacanakan, dan atau akan mengusulkan hukuman potong tangan bagi koruptor apakah kepada pemerintah, DPR, atau pihak manapun.
“Kami MUI merasa kaget dengan pernyataan yang disampaikan beliau (Zulkarnain). Saya tidak tahu logika Pak Tengku dari mana,” kata Masduki saat berbincang kepada Republika.co.id, di Jakarta, Rabu (2/1).
Selain itu, Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundangan MUI Ikhsan Abdullah, mengatakan sejauh ini belum ada rencana untuk mengadakan pembahasan terkait usulan aturan potong tangan bagi koruptor dan pencuri. "Mungkin itu lebih kepada pernyataan pribadi Pak Tengku Zulkarnain. Karena MUI tentu bila mengusulkan perubahan sistem pemidanaan pasti akan mengacu kepada Sistem Hukum Pidana sesuai Undang-undang Hukum Pidana dan KUHAP," kata Ikhsan, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Selasa (1/19).
Meski dikoreksi oleh MUI, namun wacana yang dilontarkan Tengku Zulkarnain ini mendapat perhatian. Di antaranya, dari para pemangku kepentingan terkait penegakan hukum.
Karopenmas Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan bukan kewenangannya menanggapi wacana hukuman tersebut. Pasalnya, sebagai aparat penegak hukum, polri hanya menjalankan apa yang sudah menjadi ketetapan dalam undang-undang (UU).
“Kami hanya melaksanakan dan menegakkan regulasi,” kata Dedi saat dikonfrimasi Republika.co.id pada Rabu (2/1).
Kode-kode dalam transaksi suap.
Kendati demikian, untuk menerapkan hukuman potong tangan di Indonesia menurutnya perlu kajian mendalam. Karena penduduk Indonesia tidak sepenuhnya beragama Islam.
Oleh karena itu, Dedi menyarankan agar menanyakan langsung kepada lembaga yang berkompeten menanggapi wacana hukuman tersebut. “Itu lembaga legislatif sebagai pembuat UU dan Kemenkumham yang berkompeten memberikan tanggapan,” kata Dedi.
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejakgung) mengatakan akan melaksanakan hukuman potong tangan terhadap koruptor apabila usulan Tengku Zulkarnain tersebut berujung pada aturan perundang-undangan. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kejaksaan Agung RI, Mukri mengatakan, sebagai aparat penegak hukum ada rel yang harus Kejakgung taati dalam menjatuhkan hukuman.
"Semua kan sudah diatur dalam UU, sepanjang UU mengatur ya dilakukan, tapi kalau tidak diatur ya tidak bisa dilaksanakan. Yang pasti kalau kita kan pelaksana UU, kalau tidak ada UU bisa melanggar HAM," ujar Mukri kepada Republika.co.id, Rabu (2/1).
Dia mempersilakan MUI untuk mengajukan aturan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI). Mukri menegaskan, aparat penegak hukum akan melaksanakan penegakan hukum mengacu kepada UU yang diberlakukan sesuai dengan asas legalitas.
"Soal nanti mereka mau berjuang di DPR, silakan saja. Kami hanya bisa menanggapi normatif, sesuai UU yang ada," kata Mukri.
Sedangkan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam mengatakan hukuman potong tangan tidak akan menggurangi ataupun membuat jera para pelaku korupsi. Bahkan hukuman mati sekalipun tidak akan mampu menghentikan tindak pidana korupsi.
“Hukuman badan dengan potong tangan bahkan dengan hukuman mati, tidak akan menyelesaian masalah korupsi,” kata Anam kepada Republika.co.id dalam keterangan tertulis, Rabu (2/1).
Menurut Anam, ada dua hal penting dalam upaya melawan korupsi di Indonesia yang merajalela. Pertama memambangun mekanisme yang transparan dan akuntable. “Misalnya, semua transaksi by online, tidak lagi cash, atau semua bidang terbuka dengan panel yang independen,” ucapnya.
Baca juga: Sejarah Hari Ini: Mumi Firaun Tutankhamen Ditemukan
Baca juga: Ini Pemain Top Dunia yang Dikabarkan Dibidik Persib Bandung
Keterbukaan dan akuntabilitas ini, dia melanjutkan, akan membangun mekanisme pengawasan yang sangat ketat. Baik di internal maupun eksternal sehingga masyarakat pun dapat turut mengamati apakah ada penyelewengan dan sebagainya.
Kedua, dia mengatakan, hukuman kepada para terpidana koruptor. Menurutnya hukuman pidana kurungan bagi koruptor sudah cukup ditambah dengan perampasan hasil-hasil korupsinya.
Hanya saja tambahnya, perlu dilakukan pembinaan selama dalam tahanan. Misalnya dengan mengajak para narapidana korupsi ini ikut bekerja sosial di masyarakat dengan menggunakan seragam. “Pemidanaan di penjara ada pembinaan, pembinaan ini bisa kerja sosial di luar penjara dengan memakai seragam 'menyesal jadi koruptor',” ujar Anam.
Menurutnya dua treatment tersebut laik dilakukan sebagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bukan justru memberlakukan hukum qisash yang menurutnya belum cukup untuk bisa menghentikan tindakan-tindakan korupsi di Indonesia yang telah turun temurun.
Wacana penambahan hukuman
Sebenarnya, wacana penambahan hukuman bagi koruptor di luar hukum yang sudah ditetapkan oleh undang-undang bukan baru pertama kali ini saja. Pada 2011 lalu misalnya, Ketua KPK saat itu Busyro Muqoddas mengusulkan agar hukuman yang diberikan kepada para koruptor harus memiliki efek jera dan sanksi sosial.
Misalnya saja, dengan menyuruh para koruptor memakai kaos bertuliskan 'Saya Koruptor'. "Dan setiap hari Sabtu-Ahad membersihkan di tempat-tempat umum," kata Busyro waktu itu.
Kemudian, pada 2015 lalu, ada usulan hukuman tambahan bahwa jenazah koruptor tidak usah dishalatkan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Bidang Hukum PBNU Robikin Emhas yang mengatakan, selama ini NU sudah tegas dalam melawan korupsi. Kerja sama antara PBNU dan KPK pun tidak muncul secara tiba-tiba.
"Alim ulama kumpul di Cirebon mengatakan kalau korupsi memiliki daya rusak sedemikian rupa, termasuk juga memiliki implikasi yang luas atas penderitaan rakyat, maka pelakunya layak dihukum mati," ujar Robikin di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, 11 Juli 2015 lalu.
"Kedua keputusan musyawarah NU di tempat yang sama pada 2013, menegaskan koruptor tidak boleh atau sebaiknya tidak dishalati oleh pengurus NU. Jadi pengurus NU dilarang menshalatkan jenazah koruptor. Ini bukti bahwa NU tidak hanya bergerak secara moral, tapi sekaligus memberikan dukungan kepada KPK. Sekali lagi, ini bukan muncul tiba-tiba."
Namun, wacana penambahan hukuman bagi koruptor diluar aturan undang-undang itu hanya sebatas wacana dan peraturannya mengikat kepada salah satu ormas saja. Tidak ada yang pernah masuk ke dalam aturan perundang-undangan kecuali yang pernah dilakukan oleh Kemenkumham pada 2012 lalu.
Di mana, pada saat itu Menkumham Amir Syamsuddin dan Wakil Menkumham Denny Indrayana mengeluarkan PP No 99 Tahun 1999 tentang Pengetatan Remisi. Salah satunya adalah pengetatan remisi bagi narapidana kasus korupsi. Meski ini bukan hukuman tambahan, tetapi karena aturan itu, banyak narapidana korupsi yang tak batal atau tak mendapatkan haknya menerima remisi.
Menurut Denny Indrayana saat itu, berdasarkan PP tersebut, remisi kepada narapidana kasus kejahatan korupsi akan diberikan bila yang bersangkutan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum. Narapidana harus membantu petugas membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya dan telah membayar lunas denda serta uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Kesediaan bekerja sama ini dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum.
Baca juga: Dari Mana Kabar Tujuh Kontainer Surat Suara Sudah Dicoblos?
Baca juga: Para Penghafal Alquran yang tak Tersentuh Tsunami
Data dan fakta korupsi kepala daerah.