Kamis 03 Jan 2019 13:59 WIB

April 2019, Avengers, dan Akhir Cebong Vs Kampret

Siapapun yang memenangkan pilpres, hendaknya publik legowo.

Muhammad E Fuady, Dosen Fikom Unisba
Foto: Dokumen Pribadi
Muhammad E Fuady, Dosen Fikom Unisba

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad E Fuady, Dosen Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Fikom Unisba)

Trailer Avengers: Endgame telah dilaunching pada Jumat (7/12). Film yang ditunggu jutaan penonton ini  akan tayang pada 26 April 2019.

Saat itu akan terjawab semua pertanyaan penonton mengenai nasib penduduk dunia, superhero, dan masa depan semesta pasca pemusnahan masal separuh penduduknya oleh Thanos.

Bagaimana nasib superhero yang masih hidup seperti Captain America, Iron Man, Black Widow, Hulk, dan Ant-Man? Apakah mereka mampu melawan superioritas Thanos? Akankah penduduk semesta yang dimusnahkan akan kembali hidup?

Dengan cara apa mereka mengalahkan Thanos yang sangat digdaya? Benarkah Captain Marvel memiliki peran penting dalam melumpuhkan Thanos? Banyak pertanyaan muncul di benak penikmat Avengers: Infinity War. Mereka ingin jawaban segera di Avengers: Endgame.

Ada satu pertanyaan besar lainnya dari penonton yang tak sabar menunggu film ini: Mengapa April tidak menjadi bulan pertama di tahun 2019. Bila iya, para fans Marvel akan bersukacita karena dapat menontonnya segera. Empat bulan terlalu lama untuk menjawab rasa penasaran mereka.

Di jagat politik Tanah Air, pertanyaan menggelitik seperti itu muncul. Mengapa April itu tak menjadi bulan pertama di 2019? Kita memang sedang menunggu sebuah perhelatan akbar yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia pada 17 April nanti. Siapa pemenang pilpres, publik menanti jawaban itu segera.

Logika di atas sebenarnya adalah sebuah sarkasme cara berpikir politisi di Tanah Air yang secara keliru menyatakan bahwa hastag kelompok oposisi tentang kepemimpinan baru pada 2019 (#2019gantipresiden) itu berarti dimulai sejak hari pertama di bulan pertama di tahun yang sama. Kita sama-sama melihat, adanya tuduhan bahwa tindakan kelompok itu sebagai gerakan makar yang akan menggulingkan pemerintah.

Kemudian di beberapa kota dihadanglah gerakan ini oleh kelompok lain karena tuduhan yang sama. Padahal suksesi kepemimpinan yang dimaksud kelompok oposisi adalah momen pilpres 2019 pada 17 April.

Kedua kelompok sama-sama memiliki keleluasaan dalam menyatakan pendapat. Ini dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 3, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Menyatakan pendapat "presiden baru 2019" sama bolehnya dengan dukungan "dua periode untuk petahana".

Tindakan yang tak dibenarkan adalah penyampaian pendapat disertai intimidasi, berupa pengusiran dan ancaman, apalagi membawa/menggunakan senjata tajam di obyek vital transportasi nasional seperti bandara.

Saat pilpres nanti semua pertanyaan publik akan terjawab sudah. Siapa yang menjadi pemenangnya akan diketahui hasilnya. Sesuai hasil survei beberapa pollster dengan keunggulan petahana, ataukah seperti pilkada DKI Jakarta yang menumbangkan pejabat lama. Atau, mungkin seperti pilkada Jabar yang menunjukan keberimbangan, disparitas pemenang dan kompetitor tak sebesar hasil polling.

Hasil pilpres April tahun depan bisa saja menjadi sebuah akhir (endgame) bagi petahana, dan awal yang baru bagi sebuah regime yang belum pernah tampil sebelumnya. Awal dari sebuah era yang baru.

Atau boleh jadi sebaliknya. Petahana ternyata tetap menjadi pemenang pilpres sekaligus menjungkirkan anggapan bahwa mereka sedang menjalani awal dari sebuah akhir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement