REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Swafoto di tengah becana dinilai bukanlah suatu hal yang baru. Dalam kondisi bencana, keperihatinan, ada tujuan dokumentasi.
Namun, menjadi pertanyaan jika foto yang dilakukan adalah swafoto terlebih dengan pose ceria. Menurut Sosiolog Ida Ruwaida Noor, yang menjadi pertanyaan dari swafoto itu adalah empati.
"Dulu kalau banjir, jembatan ambrol. Ya orang gitu, datang. Atau zaman kasus orang nabrak di Monas yamg menewaskan banyak orang, terus orang datang bawa bunga tapi sekaligus foto bahwa dia udah ke situ. Artinya manusia ada dua alam sadar dan bawah sadar," kata Ida, Rabu (2/1).
Kecenderungan swafoto di tengah bencana biasanya dari alam bawah sadar yang membuat seseorang menjadi non reklektif. Orang mencoba ikut-ikutan tanpa berpikir risiko maupun mempertimbangkan layak atau tidak berswafoto dengan latar belakang tertentu.
Dia menambahkan, fenomena berswafoto ini memang bisa dikatakan punya aturan tidak tertulis. Termasuk aturan mana foto yang bisa dikonsumsi publik dan sebaliknya.
Sebab, terkadang di media sosial juga tidak ada batasan. Konteks masyarakat dari kacamata sosiologi adalah liquid society atau masyarakat yang cair, terutama di dunia maya.
"Orang tidak bisa lagi menekankan kudu begini, karena masyarakat semakin beragam dengan beragam informasi yang diterima. Nggak ada lagi kebenaran mutlak," lanjutnya.
Namun ia menekankan harus dipahami ketika hendak mempublikasikan foto ke ranah lebih luas, misalnya, perlu mempertimbangkan apa tujuan, punya pengetahuan, sikap dan risiko. Bersikap dalam bahasa sosiologi yang artinya punya nilai. Berikutnya, bagaimana menyikapi risiko pasca mengunggah foto.
Musibah tsunami di Banten, beberapa waktu lalu menyisakan sesuatu yang mengganggu dari aktivitas swafoto ini. Media Inggris, The Guardian bahkan membuat suatu liputan yang mengusik tentang bagaimana orang Indonesia berselfie dengan latar belakang musibah.