REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mengecam kekerasan yang dialami Muslim Uighur, Cina. Kecaman ini dilakukan melalui diskusi publik untuk mencari solusi atas pelanggaran di Uighur, beberapa waktu lalu.
“Yang perlu kita suarakan adalah kemanusiaannya”, kata Dosen Fakultas Hukum (FH) UMM, Sholahuddin Al-Fatih melalui pesan resmi yang diterima Republika.co.id, Rabu (2/1).
Selain Uighur, Sholahuddin menyebutkan, masih banyak negara lain yang mengalami hal serupa. Beberapa di antaranya seperti suku Rohingya di Myanmar, Moro di Filipina dan Pattani di Thailand. Melihat kejadian-kejadian ini, dia berpendapat, mahasiswa harus sadar dan menyikapinya dengan cara intelektual.
Seorang akademisi, kata dia, mempunyai potensi menggiring opini publik. Dengan menggiring opini, kesimpulan akan diserahkan kepada masyarakat. "Biarkan masyarakat yang menilai sendiri. Bahwa hal yang dilakukan oleh Cina kepada Muslim Uighur sejak April 2018 hingga saat ini bukanlah hal yang benar," tegasnya.
Menurut Sholahuddin, Cina sudah seharusnya memberi perlindungan atas keyakinan yang dipilih oleh masyarakat Suku Uighur. Hal ini diungkapkan jika bercermin dengan kedamaian yang dirasakan oleh Muslim Hui (Cina). Sebab, masyarakat Suku Hui dapat bebas memeluk agama Islam dengan tenang.
Untuk menyikapi peristiwa yang terjadi di Uighur, mahasiswa diharapkan untuk kritis dan masif menggiring opini. Meski begitu, ia tak mengharapkan adanya pernyataan yang berbau kekerasan. Mahasiswa tidak boleh terprovokasi dengan isu-isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
KABAR pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada Muslim Uighur di Cina, merebut perhatian publik hingga beberapa pekan di Indonesia. Seperti diketahui sebelumnya, kabar pelanggaran HAM yang terjadi pada Muslim Uighur terdengar dari berbagai lembaga HAM internasional.
Mengutip laporan World Uighur Congress, Koordinator Bidang Hukum dan HAM BEM-U Tomy Alfarizy mengatakan, para tahanan dibui tanpa dakwaan. Mereka juga dilaporkan tidak diberikan makanan yang cukup dan telah terjadi penyiksaan yang meluas. Ditambah lagi, mereka tidak merima bantuan hukum sama sekali.
Melalui pernyataan sikapnya, BEM-U, Lembaga Semi Otonom dan Unit Kegiatan Mahasiswa di lingkungan UMM menyatakan, pertama, mendesak PBB untuk segera melakukan investigasi dengan mengutus Komisaris Tinggi Urusan Hak Asasi Manusia (United Nation’s High Commision for Human Right). Kedua, meminta Pemerintah Cina untuk membuka akses ke wilayah Provinsi Xinjiang sebagai bentuk keterbukaan atas isu yang beredar di kalangan masyarakat Internasional.
Kemudian mendorong Pemerintah Indonesia untuk tetap menjalankan politik bebas aktif sebagai pelopor perdamaian di dunia. Selanjutnya, mendorong lembaga-lembaga internasional yang bergerak dalam bidang perdamaian dan toleransi antarumat beragama untuk senantiasa aktif dan kontributif dalam berbagai permasalahan kemanusiaan.
"Terakhir, mengimbau masyarakat Indonesia agar tetap kritis terhadap berbagai permasalahan kemanusiaan," tambah dia.
Melalui pernyataan sikap ini, dia berharap, maayarakat mampu menanggapi isu-isu kemanusiaan dengan baik. Dalam hal ini agar supremasi hukum yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dapat berdiri tegak.