Rabu 02 Jan 2019 16:04 WIB

Pemprov Jabar Siapkan Cetak Biru Penanganan Bencana

Cetak biru merujuk pada Jepang.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Ikatan padi (pocong) bercampur lumpur akibat longsoran tanah di  dusun Cimapag, Desa Sinaresmi, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (1/1).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ikatan padi (pocong) bercampur lumpur akibat longsoran tanah di dusun Cimapag, Desa Sinaresmi, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (1/1).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Pemerintah Provinsi Jawa Barat saat ini sedang menyiapkan dokumen cetak biru penanganan bencana alam di kawasan tersebut. Menurut Sekda Jabar Iwa Karniwa, penyusunan cetak biru ini penting karena Jabar merupakan wilayah berpotensi bencana alam paling banyak di Indonesia.

“Sehingga harus ada langkah-langkah yang sifatnya lebih terstruktur sistemik dan terkoordinasi dalam satu perencanaan,” ujar Iwa, Rabu (2/1/).

Iwa menjelaskan, berbekal dokumen tersebut maka nantinya bisa menjadi panduan lengkap warga di 27 kabupaten/kota di Jabar agar bersikap tanggap terhadap bencana juga mengurangi jumlah korban. “Kami merujuk yang sudah maju di Jepang, negara yang sering gempa diikuti tsunami tapi korbannya sedikit,” katanya.

Menurut Iwa, sesuai perintah Gubernur sudah memerintahkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar untuk berkoordinasi dengan daerah terkait pasokan data dan peta bencana. Semua, dilibatkan termasuk historis data dan peta bencana di 27 kabupaten dan kota. "Termasuk edukasi tentang bentuk dan konstruksi bangunan,” katanya.

Emil Minta Kepala Daerah di Jabar Waspadai Longsor

Sebelumnya, Kepala Pelaksana BPBD Jabar Dicky Saromi memaparkan ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tingginya potensi kebencanaan di Jawa Barat. Pertama, dari sisi tutupan lahan hutan yang rata-rata masih di bawah 20 persen untuk seluruh DAS. Idealnya kawasan tutupan lahan hutan berada di kisaran 30 persen untuk setiap DAS.

Kedua, kata dia, potensi air permukaan dimana curah hujan yang mencapai 48 miliar meter kubik setiap tahun hanya bisa dimanfaatkan sebesar 15 miliar meter kubik. Sementara sisanya terbuang ke luat atau menjadi run off.

“Ini yang kita lihat hampir sebagian besar terbuang ke laut atau menjadi run off.Kalau menjadi run off ini akan menjadi banjir kalau tata airnya tidak baik, terutama drainase atau aliran-aliran airnya. Ini yang harus kita perhatikan,” ujarnya.

Faktor ketiga, kata dia, adalah tata ruang dan bangunan. Dicky menilai penataan ruang dan bangunan harus sudah mulai diperketat, sehingga eskalasi bencana setiap tahun tidak akan semakin tinggi. “Selain itu, bangunan pengendali banjir pun harus dipercepat penyelesaiannya,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement