Rabu 02 Jan 2019 08:22 WIB

Mencari Model yang Tepat untuk Pendidikan Mitigasi Bencana

Selama 2018 terjadi lebih dari 2.000 kejadian bencana alam.

Rep: Gumanti Awaliyah/M Nursyamsi/Novita Intan/Dadang Kurnia/ Red: Muhammad Hafil
Bencana alam (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Bencana alam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Bencana alam masih kerap menimpa sejumlah daerah di Indonesia. Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama 2018, kejadian bencana di Indonesia mencapai angka 2.426 kali. Adapun jumlah korbannya mencapai 4.231 orang jiwa dan 6.948 orang. Angka tersebut tercatat hingga 18 Desember 2018.

Artinya, jumlah tersebut belum memasukkan kejadian bencana tsunami di Selat Sunda, longsor di Sukabumi, dan puting beliung di Cirebon yang terjadi setelah 18 Desember. Artinya, jumlah kejadian bencana dan jumlah korbannya pun bertambah namun belum dicatat secara resmi oleh BNPB secara keseluruhan karena proses evakuasi dan penanganan gempa masih dilakukan.

Melihat potensi bencana yang kerap terjadi di Indonesia dan memunculkan korban, membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi), mengintruksikan Mendikbud Muhadjir Effendy untuk memasukkan pendidikan bencana dalam kurikulum pendidikan. Upaya itu dilakukan agar masyarakat mendapatkan pengetahuan sejak dini terkait kebencanaan.

"Sudah saya perintahkan (memasukkan pendidikan kebencanaan ke kurikulum)," kata Jokowi saat meninjau daerah terdampak tsunami di Kecamatan Carita, Pandeglang, Banten, Senin (24/12) lalu.

Perintah Jokowi ini kemudian segera ditindaklanjuti oleh kementerian bersangkutan yang dipimpin oleh Muhadjir Effendy tersebut. Namun, saat ini muncul berbagai usulan tentang bagaimana model atau sistem pendidikan mitigasi bencana yang sesuai.

Muhadjir Effendy mengatakan, Kemendikbud akan memberikan dasar-dasar keterampilan hidup atau basic of life skills kepada siswa, salah satunya mengenai pendidikan ketahanan terhadap bencana. Ia menegaskan, pendidikan ketahanan bencana yang dimasukkan ke dalam kurikulum tidak berupa mata pelajaran khusus.

“Nanti satu paket di dalam Penguatan Pendidikan Karakter, dan masih terbuka kalau ada hal tertentu yang masih harus masuk, akan kita masukkan. Kita usahakan mulai tahun ajaran 2019. Tetapi ini bukan mata pelajaran, tetapi tema-tema yang terintegrasi,” ujar Muhadjir, Jumat (28/12).

Baca juga: Polda Luruskan Tudingan Intimidasi Rumah Pemenangan Prabowo

Baca juga: Para Penghafal Alquran yang tak Tersentuh Tsunami

Menurut dia, saat ini Kemendikbud telah menyiapkan lima paket modul terkait isu-isu terkini yang perlu diberikan kepada siswa di berbagai jenjang. Di antaranya modul tentang bahaya narkoba, menangkal radikalisme, kesadaran hukum berlalu lintas, pendidikan antikorupsi, dan pendidikan mitigasi bencana.

Kelima modul tersebut tidak akan menjadi mata pelajaran khusus, melainkan akan diintegrasikan ke dalam program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dapat diberikan tidak hanya melalui intrakurikuler, tetapi juga melalui kokurikuler dan ekstrakurikuler.

"Terutama untuk membekali siswa agar mereka memiliki pengetahuan dan kecakapan hidup tertentu agar mereka dapat menjadi warga negara yang baik," kata Muhadjir.

Secara teknis, tutur dia, pendidikan ketahanan bencana akan diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar tanpa melalui mata pelajaran khusus. Tentunya materi yang disajikan disesuaikan dengan tingkat dan jenjang pendidikan.

“Proses belajar mengajar dapat dibikin seluwes mungkin, dengan rentang waktu yang cukup. Guru diberikan keleluasaan untuk mengatur jam belajar lebih luwes. Sehingga penguatan pendidikan karakter yang salah satu paketnya adalah memberikan informasi dan kecakapan hidup tertentu itu dapat berjalan,” terang dia.

Saat ini Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbangdikbud) bersama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) sedang melakukan pemetaan kompetensi dasar pada tema-tema di berbagai jenjang untuk memperkuat materi ketahanan bencana yang ada.

Kepala Balitbang Kemendikbud Totok Suprayitno menyampaikan bahwa yang menjadi target pendidikan ketahanan bencana adalah perubahan perilaku. Maka diperlukan praktik, simulasi, dan pembiasaan, bukan sekadar ceramah kepada peserta didik.

"Kurikulum bisa dilakukan sebagai proses belajar dalam keseharian. Tidak harus dilakukan sebagai mata pelajaran, tetapi misalnya dalam satu semester dapat dibuat beberapa kali pertemuan untuk mengenalkan, mengingatkan anak-anak terkait bencana, risikonya dan mitigasinya," ujarnya.

Namun, BNPB  menyayangkan, keputusan Kemendikbud yang hanya memasukkan pengetahuan kebencanaan pada pendidikan karakter. Seharusnya pengetahuan kebencanaan dibuatkan mata pelajaran khusus sehingga anak bisa lebih memahami tentang potensi dan mitigasi bencana.

Gak cukup kalau hanya masuk pada pendidikan karakter. Harusnya ada mata pelajaran khusus yang mendalami kebencanaan,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers di Graha BNPB Jakarta, Senin (31/12).

Sutopo menyampaikan, metode pendidikan merupakan salah satu cara efektif dalam melakukan mitigasi kebencanaan. Terlebih, selama ini secara umum sebagian masyarakat dan Pemerintah Daerah (Pemda) masih belum siap menghadapi bencana besar.

“Memang kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana meningkat. Tetapi pengetahuan ini belum menjadi sikap, perilaku dan budaya yang mengaitkan kehidupannya dengan mitigasi bencana,” kata Sutopo.

Dia menyebut, budaya sadar bencana masyarakat Indonesia juga hingga kini masih rendah. Karenanya perlu ada upaya yang lebih serius dan berkelanjutan untuk meningkatkan budaya sadar bencana untuk mewujudkan masyarakat dan bangsa yang tangguh menghadapi bencana.

photo
Bencana alam 2018 dalam catatan BNPB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement