REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mursalin Yasland
Suara menderu darang dari arah laut membuat Rasdi spontan mengajak anak dan istrinya keluar rumah malam itu. Mereka menjauh dari rumahnya dekat pantai. Ia sama sekali tidak terpikir dan tidak tahu kalau itu akhirnya tsunami, yang memporakporandakan rumah-rumah di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, Sabtu (22/12) pukul 21.30 WIB.
Warga kampungnya biasa saja mendengar suara seperti itu. Tak ada firasat apa pun soal itu. Mereka memang berumah di bibir pesisir laut Selat Sunda. Hal biasa bagi warga, menjadi tidak biasa bagi Rasdi malam itu. Rasdi dan keluarga segera menjauh dari rumahnya yang persis berada dekat laut.
Hanya dalam hitungan menit ia meninggalkan rumahnya, gelombang laut menghantam kampung Desa Way Muli dan sekitarnya. Banyak warga di dalam rumah yang padat itu tak sempat lagi menyelamatkan diri. Gelombang tsunami langsung menggulung rumah-rumah sampai rata hingga tiga kali hempasan ombak setinggi pohon kelapa.
Kekuasaan Allah SWT, pada saat rumah-rumah tetangganya hancur dan rata dengan tanah, rumah Rasdi tetap utuh. Gelombang tsunami yang menggulung setinggi atap rumah tetangganya, tapi tidak terjadi dengan rumahnya. Rumah berwarna dinding putih dan kusen jendela hijau tersebut, berdiri kokoh di bibir laut Selat Sunda, sedangkan rumah tetangganya di kiri dan kanan sudah tidak berbentuk lagi.
Pada hari pertama setelah kejadian, Ahad (23/12) pagi, Republika menyaksikan langsung sekeliling rumahnya, utuh dan catnya masih bersih. Mulai dari genteng tidak ada yang rusak atau pecah. Tiang listrik ke rumahnya normal. Kusen jendela dan pintu tidak rusak. Kaca-kaca jendela tidak pecah. Termasuk isi perabotan rumahnya masih tersusun rapi, meski terdapat bekas hayutan air masuk ke rumah.
Republika menyambangi rumahnya. Rasdi bersama keluaganya sedang mengepel bekas hayutan air laut yang membawa puing-puing runtuhan rumah dan pohon. Setelah memberi salam dan menyatakan turut berduka atas musibah tersebut, Republika meminta waktu wawancara sebentar, di sela-sela kesibukannya membereskan belakang rumahnya.
Keanehan dalam musibah sebesar itu menjadi penasaran. Rasdi ditanya-tanya tidak secara detail menceritakan kejadian itu, hingga rumahnya tetap utuh tak ada yang rusak parah. Rasmi hanya menjawab sepatah kata dan tersenyum saja saat ditanya Republika. Sulit sekali mengorek keseharian Rasdi hingga ia, keluarga, dan rumahnya selamat dari marabahaya itu.
Rahi, kerabat Rasdi yang menemani Republika ke rumahnya, turut membuka Rasdi bersuara atas kejadian itu. “Alhamdulillah (rumah saya utuh), kalau melihar rumah lainnya (yang rusak dan hancur),” kata Rasdi mengawali ceritanya saat ditemui Republika di rumahnya.
Kejadian malam itu, Rasdi sudah menjauh dari rumahnya. Ia tidak mengetahui lagi persis apa yang terjadi di kampugnya. “Saya itu hanya mendengar suara menderu. Saya tidak tahu tiba-tiba saya ajak keluarga keluar rumah, dan pergi menjauh,” tuturnya.
“Saya tidak menyangka (suara menderu) itu tsunami. Sama sekali saya tidak berpikir ke sana. Tahunya seperti ada yang mengajak saya harus pergi menjauh dari rumah ke tempat tinggi,” ujarnya.
Aktivitas warga kampung malam itu biasa-biasa saja. Malam mingguan ada yang masih berada di luar ada juga yang sedang menonton televisi. Sama sekali juga tidak ada warga yang gelisah, was was, apalagi menyangka itu tsunami bakal menggulung warga dan rumahnya. Rumah-rumah warga di Desa Way Muli dan sekitarnya padat dan dekat laut.
Rahi, kerabat Rasdi mengatakan, rumah Rasdi hanya dilalui gelombang tsunami di sisi kanan dan kirinya. Tapi tidak setinggi ombak yang menerpa rumah tetangganya. Buktinya, genteng dan listrik di atapnya utuh tidak rusak dan pecah sama sekali.
"Ada yang cerita, air laut tsunami itu hanya melewati dan tidak menghantam rumah Pak Rasdi," tutur Rahi.
Di belakang rumah Rasdi terdapat satu pohon kelapa setinggi lima meter, juga tidak roboh. Belakang rumah Rasdi memang sedang memperbaiki kusen jendela yang belum selesai karena buruk. Air laut masuk dari belakang tersebut hingga ke ruang tamu depannya.
"Perabotan dalam rumah Pak Rasdi hanya kotor saja, tidak ada yang rusak atau berpindah tempat," kata Rahi, yang lebih banyak bercerita tentang rumah kerabatnya.
Ketika Republika mendesak apa amalan yang sehari-hari dilakukan Rasdi, sehingga ia mendapat keselamatan baik dirinya, keluarganya, dan juga rumah dan perabotan rumahnya, Rasdi hanya tersenyum-senyum. Rahi, kerabatnya pun kesulitan agar Rasdi membuka rahasia, sehingga ia terlewat menjadi korban tsunami di pesisir Lampung Selatan.
Sehari-hari Rasdi hanya sebagai petani pengumpul. Ia memiliki empat anak dan beberapa cucu dari anak pertamanya. Anak pertamanya pisah rumah dengannya, dan berada di desa tetangganya Desa Kunjir. Cucunya tidak dapat lagi diselamatkan pada musibah tersebut. Di saat Rasdi tidak bersuara, Republika terpaksa mengoreknya dari pengalaman kerabatnya Rahi.
"Pak Rasdi itu petani, juga sebagai pengumpul hasil petani. Dia memang tidak pelit. Suka berbagi apa saja kepada petani dan warga desa ini. Pokoknya, Pak Rasdi ini memang beda dengan warga lainnya. Sering membantu oranglah," tutur Rahi, yang bukan warga setempat.
Memang tidak mudah mengorek amalan apa yang memang diperbuat Rasdi, sehingga ia selamat dari musibah yang sudah dekat berada di belakang rumahnya. Rahi juga merasa takjub dengan kejadian tersebut. Rasdi, keluarga, dan rumahnya luput dari musibah tsunami Selat Sunda yang menelan korban 112 meninggal dan ratusan luka-luka.