Ahad 30 Dec 2018 19:46 WIB

Pengamat: Jokowi dan Prabowo Dihantam Isu Identitas

Tes baca Alquran dinilai tak ada dalam undang-undang.

Rep: Afrizal Rosikhul Ilmi/ Red: Teguh Firmansyah
Persiapan Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019
Foto: republika
Persiapan Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menanggapi isu tes baca Alquran bagi calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres). Menurut Karyono, tes baca Alquran sebenarnya tak ada dalam undang-undang tentang Pemilu maupun Peraturan KPU (PKPU).

"Sehingga tidak ada kewajiban bagi capres untuk menghadiri undangan dari Dewan Ikatan Dai Aceh. Namun demikian, jika capres-cawapres mau hadir di uji baca Alquran untuk meyakinkan rakyat Aceh, maka hal itu berpulang kepada masing-masing Capres," kata Karyono melalui keterangannya, Ahad (30/12).

Namun, kata dia, munculnya ide tes baca Alquran bagi pasangan capres ini tidak terlepas dari menguatnya politik identitas yang ditandai dengan mencuatnya simbol-simbol agama. Menurut dia, sejak Pilkada DKI Jakarta hingga Pilkada serentak dan kini memasuki Pemilu serentak isu politik berbasis agama kian mendominasi ruang publik.

"Pada mulanya, Jokowi dihantam berbagai isu yang berbau SARA. Berbagai opini dibangun untuk mendelegitimasi keislaman Jokowi. Berbagai tudingan yang diembuskan hingga tuduhan Jokowi melakukan kriminalisasi ulama, keturunan Cina, antek aseng hingga dituduh pernah menjadi kader Partai Komunis Indonesia (PKI)," kata dia.

Baca juga, Prabowo Berjoget Rayakan Natal, TKN: Menunjukkan Keberagaman.

Menurutnya, kini Prabowo Subianto pun tak luput dari isu agama yang meragukan keislamannya, calon presiden nomor urut 02 itu didera isu tidak bisa menjadi imam sholat. Bahkan, kata dia, dengan beredarnya video yang diduga Prabowo ikut merayakan natal bersama dengan keluarga dan kaum kristiani menjadi viral.

Sebab itu, menrut Karyono, kini berkembang isu yang meragukan keislaman capres nomor urut 02 tersebut.

"Akhirnya, pihak-pihak yang terlibat dalam kontestasi pemilu 2019 mulai terjebak dengan suasana politik identitas. Hal ini membuat demokrasi kita mengalami defisit," jelas dia.

Karyono menambahkan, Pemilu yang seharusnya menjadi perwujudan kedaulatan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas dan berintegritas akhirnya bergeser menjadi sekadar caci maki  sehingga penuh ujaran kebencian. "Pemilu hanya dipahami sekedar kalah atau menang dalam kontestasi elektoral. Akhirnya pelaksanaan demokrasi jauh dari substansi," kata dia.

Selain itu, dampak dari menguatnya politik identitas bisa merusak esensi demokrasi dan mendorong segregasi sosial. Lebih dari itu, isu SARA berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa. "Karenanya, semua pihak terutama elit politik harus segera menghentikan semua jenis narasi kampanye yang berbau SARA. Karena hal ini bisa berdampak luas terhadap persatuan dan keutuhan bangsa," tutur dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement