Jumat 28 Dec 2018 07:14 WIB

Kaleidoskop 2018: Meminimalisir Dampak Bencana di Bogor

Bogor merupakan daerah rawan bencana hidroklimatologi.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Hafil
Warga memperbaiki atap rumahnya yang rusak akibat angin puting beliung di wilayah Batu Tulis, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (7/12). Bencana puting beliung yang menerjang Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis (6/12/2018) sore mengakibatkan 848 rumah rusak berat dan ringan, 20 pohon tumbang, enam kendaraan rusak tertimpa pohon dan satu warga meninggal dunia tertimpa pohon.
Foto: Arif Firmansyah/Antara
Warga memperbaiki atap rumahnya yang rusak akibat angin puting beliung di wilayah Batu Tulis, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (7/12). Bencana puting beliung yang menerjang Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis (6/12/2018) sore mengakibatkan 848 rumah rusak berat dan ringan, 20 pohon tumbang, enam kendaraan rusak tertimpa pohon dan satu warga meninggal dunia tertimpa pohon.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Rentetan bencana alam terjadi di Bogor, Jawa Barat sepanjang 2018 ini. Mulai dari angin puting beliung, banjir hingga longsor di puncak pass yang baru-baru ini terjadi.

Pada penghujung September 2018 lalu, angin puting beiung mengamuk di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor mengakibatkan 46 rumah warga mengalami rusak berat bahkan satu warga harus mendapatkan perawata medis. Sedangkan di Kabupaten Bogor, 44 rumah mengalami kerusakan.

Angin puting beliung kembali menerjang Bogor pada Kamis 6 Desember 2018. Angin putting beliung yang terjadi pukul 15.00 WIB telah merusak 770 rumah warga di Kelurahan Cipaku, Pamoyanan, Batu Tulis dan Lawang Gintung. Bahkan satu nyawa melayang akibat angin puting belinung tersebut dan sebuah pohon beringin pun turut tumbang karena dahsyatnya tejangan angin.

Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Bogor Hadi Saputra, mengatakan angin kencang ini terjadi karena bentukan awan CB yang cukup matang di wilayah Bogor Selatan. Situasi ini menurutnya berpotensi kembali terjadi selama musim hujan yang berlangsung di wilayah Bogor hingga akhir februari 2019.

Ahli Spasial Klimatologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Perdinan mengatakan, peristiwa ini menjadi bukti bahwa Bogor merupakan daerah rawan bencana hidroklimatologi. Kota Bogor dengan struktur kawasan yang berkontur menjadi salah satu pemicu terjadinya puting beliung.

"Perbedaan tekanan dan gerakan angin terus menimbulkan akumulasi awan yang disertai angin seperti yang tengah terjadi saat ini," ujar Pedinan.

Menurut dia, selain angin puting beliung bencana lain yang menyapa Bogor adalah banjir, tanah longsor, serta kebakaran. Karena itu, ia menyarankan perlunya dilakukan serangkaian langkah antisipatif untuk mencegah jatuhnya korban jiwa akibat bencana alam ini. Yakni dengan melakukan pemetaan wilayah berpotensi angin kencang, pemetaan distribusi spasial pohon dengan jenis dan umur, pemetaan topografi dan kemiringan wilayah serta penataan pepohonan di wilayah kota.

Perdinan juga meminta BPBD segera mengumpulkan data-data kejadian sejak 10 tahun terakhir dan memetakan tingkat bahaya dan frekuensinya. Data tersebut bisa dijadikan sebagai pedoman mitigasi berdasarkan daerah yang rawan bencana dan diharapkan Kota Bogor dapat lebih antisipatif dalam menyikapi setiap perubahan dan risiko yang akan terjadi.

Selain angin puting beliung, Bahkan di awal tahu 2018 ini Bogor telah lebih dulu disambut longsor pada 5 Februari 2018, kemudian kembali terjadi longsor pada 28 Maret 2018 dan 3 April 2018. Longsor tersebut telah mengakibatkan amblasnya hotel, sejumlah bangunan, dan jalan raya di Puncak Pass.

Perekayasa Madya PVMBG, Imam Santosa mengatakan, pemicu terjadinya longsor di jalur Puncak, Bogor, karena faktor geologi, morfologi, vegetasi dan keairan. Geologi di jalur Puncak kata dia, adalah bebatuan api tua dan memiliki lava.

“Tanahnya pun terjadi pelapukan dengan ketebalan dua sampai tiga sentimeter. Korositas di sini tinggi, sehingga mudah jenuh air,” tutur Imam

Kondisi ini kemudian diperparah oleh hujan dengan intensitas tinggi. Air hujan yang terus mengguyur membuat tanah menjadi mudah bergerak, seiring dengan bebatuan dan menyebabkan terjadinya longsor.

Faktor kedua adalah morfologi, di mana kawasan Puncak ini memiliki kontur perbukitan yang curam. Kondisi ini mengakibatkan kemungkinan longsor semakin besar.

Keairan juga menjadi faktor penunjang longsor. Banyak percikan air pada tebing yang diakibatkan tidak adanya penataan keairan baik. Akibatnya, bebatuan dan tanah yang jenuh air itu semakin mudah bergerak," ucap Imam.

Kementerian PUPR membangun kembali Jalan Raya Puncak Pass lebih permanen. Hal ini untuk mengantisipasi longsornya tebing di bawah jalan. Pembangunan jalan ini akan rampung menjelang hari raya, sehingga saat musim mudik Jalan Raya Puncak Pass sudah dapat digunakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement