Rabu 26 Dec 2018 14:43 WIB

Sistem Peringatan Tsunami tak Berfungsi Sejak 2012

Sistem pendeteksi tsunami baru akan dipasang mulai tahun depan.

Red: Nur Aini
Foto Gunung Anak Krakatau diambil pada Ahad (23/12). Krakatau tampak mengeluarkan asap hitam dari puncak kawah.
Foto: AP
Foto Gunung Anak Krakatau diambil pada Ahad (23/12). Krakatau tampak mengeluarkan asap hitam dari puncak kawah.

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Berbicara kepada BBC Indonesia, juru bicara pemerintah, Iyan Turyana mengatakan layanan peringatan tsunami dengan pelampung baru akan dimulai tahun depan. Namun, tidak ada rincian yang diberikan tentang bagaimana tepatnya sistem ini akan bekerja dalam praktiknya nanti.

Indonesia tidak memiliki sistem peringatan tsunami yang berfungsi sejak 2012, karena vandalisme, kesalahan teknis, dan kekurangan dana telah menghambat kesiapsiagaan bencana. Tetapi, bahkan jika pun ada sistem pendeteksi tsunami yang berfungsi pada saat gelombang besar di bulan Desember, generasi sistem pendeteksian tsunami yang dimiliki Indonesia saat ini tidak akan mampu memprediksi tsunami yang terjadi di Selat Sunda. Hal itu lantaran tsunami tersebut dipicu oleh aktivitas gunung berapi.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia, Dwikorita Karnawati, mengatakan tsunami yang terjadi pada Sabtu (22/12) lalu kemungkinan disebabkan oleh aktivitas vulkanik gunung Anak Krakatau. Para ilmuwan mengatakan gelombang tsunami tercatat di beberapa tempat setinggi sekitar 1 meter, tetapi penduduk Sumur bersikeras ombak yang menerjang kawasan mereka tingginya lebih dari 3 meter.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat gunung Anak Krakatau telah meletus sejak Juni lalu dan kembali mengalami erupsi 24 menit sebelum tsunami terjadi. Ilmuwan lain mengatakan tanah longsor di bawah laut mungkin juga berkontribusi terhadap bencana ini.

"Kami pikir kami semua akan mati"

"Tidak ada tanda-tanda tsunami ketika kami berada di pantai. Laut tidak surut," kata Tati Hayati.

"Suasananya tenang dan cerah dengan bulan purnama."

Ketika dia melihat gelombang tinggi yang bergerak cepat meluncur menuju pantai, dia berlari ke mobilnya dan berhasil masuk ke dalam.

Tapi dia tidak bisa berlari lebih cepat. Dia menuturkan mobil yang dikendarainya diterjang oleh tiga gelombang, yang berhasil menerobos masuk lewat jendela belakang dan memenuhi mobilnya dengan limpahan air.

"Kami terkunci di dalam. Mobil itu bergoyang di tengah ombak dan kami pikir kami semua akan mati," kata Hayati.

"Kami hampir tidak bisa bernapas dan saya hampir menyerah ketika saya akhirnya berhasil meraba kunci dan berhasil membuka pintu, dan air mulai surut. Kami keluar dari mobil dan berlari ke tempat yang aman."

Bencana ini diperparah karena terjadi pada liburan akhir pekan yang sibuk sebelum Natal ketika banyak orang telah meninggalkan kota-kota yang ramai seperti Jakarta, untuk bersantai di daerah pantai yang populer itu.

Peringatan Natal berlangsung khidmat di sebuah gereja di Pantai Carita, Pandeglang yang porak poranda diterjang tsunami yang telah menewaskan lebih dari 400 orang. Banyak jemaat gereja di daerah tersebut telah mengungsi karena takut akan bencana lebih lanjut.

Alih-alih mengadakan perayaan dan bertukar hadiah, Pastor Rusman Anita Sitorus yang memimpin ibadah misa di gerejanya yang kecil meneteskan air mata.

"Kami berencana mengadakan perayaan Natal setiap tahun, tetapi tahun ini berbeda karena tsunami," kata Sitorus, ketika pengunjung gereja menyalakan lilin dan menangis sambil berdoa.

Bencana yang melanda selama musim Natal ini telah membangkitkan kenangan akan tsunami Samudra Hindia yang dipicu oleh gempa bumi pada tanggal 26 Desember 2004, yang menewaskan 226 ribu orang di 14 negara, termasuk lebih dari 120 ribu di Indonesia.

Awan abu tebal terus menyembur dari kawah gunung Anak Krakatau yang terletak tidak jauh dari gereja itu, sebuah pulau vulkanik di mana kawah runtuh pada Sabtu (22/12) lalu mengirim gelombang tsunami ke daerah pantai di kedua sisi Selat Sunda antara pulau Sumatera dan Jawa. Setidaknya 429 orang tewas dan lebih dari 1.400 orang terluka, dan 154 orang masih hilang.

Ribuan warga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, dan otoritas terkait telah memperpanjang peringatan gelombang tinggi mereka hingga Rabu (26/12). Pasukan militer, personil pemerintah dan sukarelawan terus melakukan evakuasi di sepanjang pantai yang penuh puing-puing.

Kantong mayat berwarna kuning, oranye, dan hitam diletakkan di tempat para korban ditemukan, dan kerabat yang menangis setelah mengidentifikasi jenazah. Banyak warga masih terus mencari anggota keluarganya yang masih hilang di kamar mayat di rumah sakit.

Pastor Rusman Anita Sitorus mengatakan jemaatnya jauh berkurang dari biasanya. Tetapi warga seperti Nikson Sihombing, yang sekarang tinggal di pusat evakuasi sementara, turut hadir dalam misa yang dilaksanakan gereja itu.

"Kami biasanya merayakan dengan sukacita dan perayaan, tetapi karena tsunami, kami hanya bisa berdoa dengan rendah hati dan tidak terlalu berlebihan dalam merayakan Natal tahun ini," katanya.

Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia dan juga merupakan rumah bagi minoritas Kristen, Hindu, dan Buddha yang cukup besar.

ABC/Wires

Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini.

sumber : http://www.abc.net.au/indonesian/2018-12-26/natal-di-carita/10668900
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement