REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penganggaran Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk pengadaan alat deteksi bencana kerap menemui kendala. Salah satunya, anggaran tersebut pernah dicoret karena dianggap bukan kebutuhan strategis pemerintah.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono belum merinci penganggaran alat deteksi apa yang sempat dicoret itu. Namun ia mengapresiasi perintah Presiden Joko Widodo yang meminta BMKG membeli alat deteksi dini baru dan menambah dana perawatan.
"Biasanya terkendala di pembahasan kalau enggak strategis ya dicoret. Dengan ada instruksi Presiden maka lembaga yang terkait penganggaran bisa kawal juga," katanya pada Republika.co.id, Selasa (25/12).
Walau sudah ada instruksi presiden, ia menilai penganggaran alat deteksi dini tak bisa secepatnya direalisasi. Sebab ada mekanisme yang mesti dilalui dari mulai perencanaan, pembahasan penganggaran dan pembelian.
"Masalahnya penganggaran tidak serta merta BMKG usulkan anggaran. Tentu harus lalui dewan, Kemenkeu, Bappenas dikaji. Itu prosesnya bersama," keluhnya.
Apalagi anggaran untuk tahun 2019 sudah disetujui pada tahun ini. Menurut prediksinya, instruksi Presiden mempercepat pengadaan alat deteksi dini baru terealisasi minimal tahun 2020. Situasi bisa berubah, kata dia, bila Presiden melakukan intervensi.
"Ini perlu kerja luar biasa. 2019 sudah diketok tahun ini. Minimal 2020 (beli banyak alat deteksi dini). Kecuali ada instruksi Presiden pasti ada mekanisme untuk bisa cairkan uangnya. Kalau saat ini belum masuk di 2019," jelasnya.
Ia menyayangkan lambatnya pemerintah merespon permintaan alat deteksi dini jenis bencana gempa dan tsunami dari usulan BMKG. Padahal Indonesia berada di zona rawan banyak bencana. Kehadiran alat deteksi dini juga berdampak pada mitigasi bencana yang akan mengurangi korban.
"Karena bencana sudah mengerikan tahun ini banyak sekali. Kalau pengawasan BMKG terbatas ya kemungkinan besar korban bencana masih banyak tahun depan," ungkapnya.
Secara rinci, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hanya mendapat anggaran sebesar Rp 610 miliar rupiah untuk tahun 2019. Jumlah ini turun dari tahun sebelumnya. Penurunan anggaran bisa menggambarkan keberpihakan pemerintah pada sektor penanggulangan bencana.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengakui minimnya anggaran penanggulangan bencana di Indonesia. Menurutnya anggaran BNPB belum meliputi perhitungan biaya terhadap potensi bencana.
"2019 saja Rp 610 miliar. Ini untuk mengcover seluruh Indonesia. Padahal tahun ini Rp 746 miliar. Berarti turun tahun depan," katanya dalam konferensi pers di kantor BNPB, Selasa (25/12).
Ia menyayangkan kebijakan pemerintah dalam penganggaran bencana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Padahal nyaris semua wilayah Indonesia masuk kategori rawan bencana. Jenisnya pun beragam seperti gempa bumi, tsunami, angin puting beliung atau banjir.
"Idealnya alokasi anggaran untuk BNPB sekitar 1 persen dari jumlah APBN. Idealnya ditambah tiap tahun, kalau perlu Rp 2 triliun," ujarnya.
Kronologi tsunami Selat Sunda.
Ia menjelaskan BNPB telah mengalkulasi dan mengajukan pagu anggaran setiap tahunnya. Hanya saja, nilai realisasi dari Kementerian Keuangan berbeda dari yang diajukan.
"Jadi kalau kita lihat politik anggaran tidak mendukung penanggulangan bencana. Karena anggarannya kecil," keluhnya.
Ia menyebut anggaran di tingkat daerah pun minim. Bahkan di beberapa daerah sampai tak cukup untuk mengantisipasi potensi bencananya saja. Salah satunya di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
Daerah di dekat Filipina itu terletak di jalur subduksi yang rawan gempa dan tsunami hingga angin siklon tropis. Tetapi anggaran pra bencananya hanya sekitar 200 juta atau sekitar 0,002 persen dari APBD daerah tersebut.
"Di daerah terisolir seperti itu, tapi anggaran kecil mau buat apa, buat pejabatnya bolak balik ke Jakarta saja sudah habis," ujarnya.
Anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar Ridwan Bae menyatakan, perintah presiden agar BMKG segera membeli alat pendeteksi dini tsunami, menegaskan bahwa alat pendeteksi tsunami menjadi prioritas bagi BMKG agar kejadian yang terjadi di Selat Sunda tidak kembali terjadi.
"Adanya perintah presiden sekarang, kita berharap bahwa semua yang terkait tidak hanya presiden dalam hal ini Menkeu, Bapenas, BMKG atau pun instansi terkait lainnya, harus saling mengisi, jangan sampai kepentingan BMKG itu diabaikan Menkeu karena sangat fatal, vital, kebutuhannya prioritas lagi," kata Ridwan saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (25/12).
Ridwan mengatakan, BMKG dalam beberapa kali pertemuan dengan Komisi V kerap meminta anggaran untuk pengadaan alat pendeteksi dini tsunami tersebut. Namun hal itu menurutnya kerap tidak mendapat tanggapan yang baik dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Kalau di Komisi V kepala BMKG sudah beberapa kali menyampaikan itu," ujarnya.
Menurut Ridwan dari segi pendanaan negara siap, hanya saja kemampuan mencari prioritas inilah yang harus diutamakan. Kemampuan pemerintah, Menkeu, Bapenas dalam mengutamakan pembiyaan harus menjadi prioritas utama, sehingga seluruh pihak tidak kerepotan setelah bencana terjadi.
"Kalau terjadi gini baru serius orang, harusnya kan alat deteksi itu adalah pencegahan dini. Korban sudah berjatuhan, baru kita mulai berpikir," katanya.
Pada Oktober lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, penanganan bencana di Indonesia masih sangat tergantung pada APBN dan APBD. Bahkan, pemerintah kerap harus merealokasi anggaran.
“Kita perlu mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat,” kata Sri Mulyani dalam Dialog Tingkat Tinggi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana pada Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali, pertengahan Oktober lalu.
Sebagai gambaran besarnya kerugian dan pendanaan yang diakibatkan oleh bencana, di antara tahun 2004-2013, Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp 126,7 triliun. Adapun rata-rata kerugian per tahun mencapai Rp 22,8 triliun. Sementara itu, pemerintah memiliki dana cadangan yang dapat digunakan untuk penanganan bencana.
Namun, ujar Sri Mulyani, dana cadangan tersebut digunakan untuk hal-hal lain pula selain bencana. Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp 3,1 triliun rupiah. Sementara bencana alam besar seperti gempa dan tsunami di Aceh tahun 2014 mencapai Rp 51,4 triliun rupiah.
Selain itu, Sri mengatakan pemerintah akan membentuk suatu pooling fund dari anggaran pemerintah pusat yang akan digunakan untuk dana darurat bencana.
"Sekarang dengan pola yang semakin kita lihat, kita sedang memikirkan mekanisme adanya pooling fund, selain dana cadangan kedaruratan yang kita pegang di Kementerian Keuangan, mungkin kita akan mulai ciptakan suatu pooling fund," kata Sri.
Pooling Fund nantinya bisa diakses pemerintah-pemerintah daerah dengan anggaran dari pemerintah pusat yang dikumpulkan dan ditata kelola menyangkut masalah bencana. Dengan begitu, kata dia, kalau suatu daerah terkena bencana dengan skala tertentu dan jumlah korban tertentu dengan tingkat kerusakan tertentu mereka akan langsung mendapatkan tambahan anggaran.
"Itu yang sedang kami sekarang finalkan, kita pikirkan, kita mulai perkenalkan di 2019. Ini akan cikal bakal bagi kita untuk melakukan apa yang disebut katastrofik, dana katastrofik yang bisa diakses oleh pemerintah daerah," katanya.
Hal itu, kata dia, telah dilakukan oleh banyak negara lain seperti yang terjadi di negara Meksiko dan negara-negara di kawasan Karibia yang kerap mengalami bencana termasuk angin topan dan tsunami. "Tapi tingkat risikonya sangat intens, jadi kita akan belajar bagaimana mendesain pendanaan itu," katanya.
Baca juga: Kisah Para Santri Penghapal Alquran Selamat dari Tsunami
Baca juga: Penjelasan Putra Kiai Ma'ruf Amin Soal Ucapan Natal Ayahnya
Kecamata Sumur yang terdampak bencana tsunami Selat Sunda