Selasa 25 Dec 2018 18:49 WIB

Pakar: Pendeteksi Tsunami di Indonesia Butuh Lebih Canggih

Tata ruang di pantai seharusnya juga diatur.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Endro Yuwanto
Petugas mengevakuasi jenazah korban bencana Tsunami di Kawasan Sumur, Pandeglang, Banten, Selasa (25/12).
Foto: Republika/Prayogi
Petugas mengevakuasi jenazah korban bencana Tsunami di Kawasan Sumur, Pandeglang, Banten, Selasa (25/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli paleotsunami Eko Yulianto mengakui Indonesia memang membutuhkan pendeteksi dini tsunami yang lebih canggih. Sebab, ia menilai saat ini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru mengandalakan seismometer untuk mendeteksi tsunami.

Melalui seismometer, BMKG memiliki waktu minimal lima menit untuk dapat mengolah informasi parameter gempa. Apabila gempa berpotensi tsunami, maka dibutuhkan waktu lagi untuk mengabarkan kepada masyarakat.

"Misalnya itu menyampaikan kepada masyarakat satu menit, jadi total enam menit sudah hilang. Sementara melihat peristiwa tsunami yang belakangan ini terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, air itu dua sampai tiga menit sudah sampai daratan," kata Eko kepada Republika.co.id, Selasa (25/12).

Selain seismometer, Indonesia juga menggunakan tsunami buoy. Namun, Eko mengatakan, buoy tersebut memiliki risiko kerusakan yang tinggi. Sering kali buoy dirusak oleh pihak tidak bertanggung jawab atau tidak sengaja tertabrak kapal. Apabila ini terjadi, maka Indonesia tidak memiliki pendeteksi dini tsunami yang baik.

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI ini juga mengatakan, sudah ada usulan terkait pendeteksi gempa yang ditanamkan di dasar laut. "Alternatifnya memasang tsunami detector yang dipasang di bawah samudera," kata Eko menjelaskan.

Namun, lanjut Eko, tersedianya alat pendeteksi tsunami yang canggih dan aman bukan satu-satunya hal yang perlu dilakukan dalam mengatasi bencana tsunami di Indonesia. Tata ruang di pantai seharusnya juga diatur sehingga ketika terjadi tsunami tidak akan memakan banyak kerusakan atau pun korban.

"Kalau kita lihat di Carita kemarin, sebenarnya gelombang cukup dekat dengan garis pantai. Tapi karena bangunan yang ada sangat dekat dengan garis pantai, maka kerusakan dan korban banyak," kata Eko.

Sebenarnya, kata Eko, sudah ada peraturan soal sempadan pantai, yakni bagian tepi pantai yang harus dikosongkan dari aktivitas manusia. Namun, ia mengakui cukup sulit menerapkannya karena aturan tersebut keluar setelah pantai-pantai tersebut dikelola. "Memang pada kondisi seperti itu memerlukan upaya yang lebih cerdas supaya tata bangunan bisa diatur, bangunan penting rumah sakit atau sekolah bisa djauhkan dari pantai sehinga relatif lebih aman," katanya menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement