Ahad 23 Dec 2018 20:40 WIB

Pengungsi Tsunami Butuh Selimut dan Alas Tidur

Ruangan posko tak mencukupi untuk menampung seluruh pengungsi

Rep: Bayu Adji P/ Red: Nidia Zuraya
Kerabat korban terjangan tsunami menangis saat mencari kepastian nasib keluarganya di  Pandeglang, Banten, Ahad (23/12)
Foto: Fauzy Chaniago/AP
Kerabat korban terjangan tsunami menangis saat mencari kepastian nasib keluarganya di Pandeglang, Banten, Ahad (23/12)

REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Sekitar 500 orang pengungsi dari Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, berkumpul di Posko Krakatau, Jalan Jenderal Ahmad Yani, Buaran Ciateni. Pengungsi yang didominasi oleh kaum ibu dan anak itu masih menantikan kepastian untuk bisa kembali ke rumahnya masing-masing.

Salah satu petugas relawan Ahmad mengatakan, saat ini kondisi para pengungsi masih ditampung sadanya. Sebagian pengungsi ibu, anak, dan lansia, ditempatkan di dalam ruangan. Sementara sisanya harus rela menempati ruangan terbuka yang hanya diatapi seng.

"Kita di sini akan standby paling tidak sampai tanggal 25 Desember," kata dia saat ditemui Republika di lokasi, Ahad (23/12).

Menurut dia, barang yang paling dibutuhkan para pengungsi di antaranya adalah alas tidur dan selimut. Pasalnya, ruangan posko tak mencukupi untuk menampung seluruh pengungsi.

Selain itu, lanjut dia, para pengungsi juga membutuhkan obat-obatan dan tenaga medis. "Kalau makanan beberapa sudah ada bantuan. Tenaga medis yang stay itu perlu. Tadi ada yang terluka kita obati sebisanya," kata dia.

Berdasarkan pantauan Republika, di lokasi pengungsian telah terdapat beberapa relawan yang bertugas. Selain itu, terlihat pula mobil toilet milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di dekat posko.

Sarwin (50 tahun), salah satu warga yang mengungsi, mengaku masih khawatir untuk kembali ke rimahnya. Pasalnya, ia masih takut jika gelombang tinggi akan datang kembali.

Pada Sabtu (22/12) malam, Sarwin meyaksikan sendiri bagaimana ombak besar itu datang. Ketika itu, sekitar pukul 21.00 Sarwin bersama teman-temannya sedang menonton organ tunggal di rumah kerabatnya.

"Pas lagi nonton, ada yang teriak. Saya kira ada tawuran, ternyata air besar," kata dia.

Pada saat itu juga, lelaki yang berprofesi sebagai nelayan itu kabur ke arah jalur evakuasi. Saat itu, Sarwin bahkan tak sempat menyelamatkan keluarganya.

Namun, beruntung ketika sampai di Posko Krakatau, keluarga Sarwin lengkap berada di tempat itu. Alhasil, ia memilih untuk tinggal sementara di Posko Pengungsian yang berjarak sekitar 2 kilometer dari bibir pantai itu.

Ia bercerita, tak ada gempa maupun peringatan berupa sirine sebelum gelombang datang. Karena itu, banyak warga yang tak tahu akan adanya bencana itu.

Menurut dia, salah satu temannya juga tertimpa gelombang saat berada di bibir pantai. Selain itu, tiga kawan sejawatnya hingga kini masih belum ditemukan, lantaran sedang melaut ketika gemlombang datang.

"Cepat sekali. Kapal-kapal kita rusak semua," ujar dia.

Ia mengklaim, dari sekitar 500 kapal yang ada di Desa Teluk, 90 persennya mengalami kerusakan berat. Akibatnya setelah dapat pulang ia berencana untuk memperbaiki dulu kapalnya.

Sarwin mengakui, saat ini memang merupakan periode air laut pasang. Namun, baru kali ini gelombang itu menimpa rumah-rumah warga dengan kecepatan tinggi. Menurut dia, gelombamng itu bisa mencapai 3 meter.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement