Senin 24 Dec 2018 01:00 WIB

Masyarakat Enggan Laporkan Kekerasan terhadap Perempuan

Kasus kekerasan terhadap perempuan di Kulon Progo tinggi.

Red: Nur Aini
Warga memberikan tanda tangan dukungan Keluarga Indonesia Menolak Narkoba, Pornografi, dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (4/9).  (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Warga memberikan tanda tangan dukungan Keluarga Indonesia Menolak Narkoba, Pornografi, dan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (4/9). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, KULON PROGO -- Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyayangkan masih banyak masyarakat yang enggan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Kepala Sub-Pembinaan Ketahanan Keluarga Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DPMDPPKB) Kulon Progo Woro Kandini mengatakan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat tinggi karena lemahnya posisi perempuan di masyarakat. Kasus kekerasan di Kulon Progo yang dilaporkan masyarakat kepada DPMDPPKB pada 2017 sebanyak 129 kasus, dan 2018 dari Januari sampai November 120 kasus.

"Kasus ini hanya yang dilaporkan kepada DPMDPPKB. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat tinggi, hanya mereka enggan melaporkannya karena dianggap tabu dan mencoreng nama baik keluarga," kata Woro di Kulon Progo, Sabtu (23/12).

Ia mengatakan berdasarkan jumlah penduduk, maka angka kekerasan perempuan dan anak di Kulon Progo tertinggi dibandingkan empat kabupaten/kota di DIY. Hal ini perlu adanya solusi dan komitmen kuat dari pemerintah kabupaten (pemkab).

Menurut dia, selama ini belum ada komitmen kuat dari Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam mewujudkan kabupaten ramah anak dan perempuan. Hal ini bisa dilihat dari dukungan anggaran untuk melakukan sosialisasi hingga pemulihan psikologis korban kekerasan.

Ia mencontohkan kasus pelecehkan seksual seorang ayah kepada anaknya yang berusia tiga tahun, namun istrinya melarang masyarakat melaporkan ke polisi atau membawa kasus ini ke DPMDPPKB. "Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak belum menjadi prioritas dan perhatian pemkab," katanya.

Sementara itu, Sekretaris Kaukus Perempuan Politik Indonesia DIY Novia Rukmi mengatakan tingginya kasus kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak karena lemahnya daya tawar dalam politik.

"Perempuan harus memiliki nilai tawar. Pemilu 2019 menjadi momentun bagaimana perempuan memiliki nilai tawar terhadap program calon anggota legislatif, supaya mereka pro terhadap perempuan dan anak," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement