REPUBLIKA.CO.ID, PADANG - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2019 merupakan tantangan besar yang dihadapi lembaga penyiaran di Tanah Air. Apalagi jika berkaca pada Pemilu 2014 yang memperlihatkan lembaga penyiaran terbelah.
"Pada pilpres 2014 hanya ada dua calon presiden, pemilu 2019 juga kembali dua calon presiden, ini tantangan besar yang dihadapi lembaga penyiaran dan KPI," kata Ketua KPI Yuliandre Darwis di Padang, Jumat (21/12) malam pada acara KPID Sumbar Award 2018.
Menurut dia, pada Pemilu 2014 proses penghitungan suara belum selesai tetapi hasil hitung cepat malah sudah duluan keluar dan ditayangkan di televisi. "Pada pilpres 2019 sudah ada kesepakatan KPU, Bawaslu dan KPI bahwa harus selesai dulu proses penghitungan di tingkat TPS baru hasil hitung cepat bisa dipublikasikan," ujar dia.
Begitu juga dengan definisi kampanye telah disepakati apabila calon presiden dan wakil presiden bersama-sama menyampaikan pandangan terhadap suatu persoalan maka itu disebut sebagai kampanye.
"Akan tetapi jika hanya salah satu saja atau sendiri masih diizinkan karena merupakan bentuk sosialisasi lewat lembaga penyiaran," ujar dia.
Ia mengakui saat ini masih banyak pengaduan yang menyatakan ada lembaga penyiaran yang berat sebelah dalam mempublikasikan calon presiden. Oleh sebab itu masyarakat harus lebih kritis untuk bersama-sama mengawasi lembaga penyiaran dan melaporkan bila menemukan dugaan pelanggaran, kata dia.
Yuliandre menyebutkan saat ini terdapat 16 televisi berjaringan nasional serta 25 radio berjaringan nasional yang terdata di KPI. Namun, berdasarkan kalkulasi KPI saat in i ada 2.006 radio, 1.080 televisi lokal, ada 309 televisi berlangganan di Tanah Air yang harus diawasi KPI, kata dia.