Kamis 20 Dec 2018 09:25 WIB

Korupsi Dana Pendidikan: Belajar dari Kasus Bupati Cianjur

Jangan sampai kasus korupsi berdampak pada kualitas pendidikan.

Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar (kiri) dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi (kanan) mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan terkait OTT kasus korupsi dana pendidikan Kabupaten Cianjur di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar (kiri) dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur Cecep Sobandi (kanan) mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan terkait OTT kasus korupsi dana pendidikan Kabupaten Cianjur di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (13/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tri Pujiati, Dosen IAIN Kudus, alumnus Pendidikan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sektor pendidikan tidak hanya menjadi simpul utama dalam mencerdaskan generasi bangsa, tetapi juga menjadi ladang basah bancakan korupsi. Bagaimana tidak, dengan kucuran dana anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang mencapai hingga 20 persen, tentu menjadi kue menjanjikan bagi calon koruptor. Bahkan, bagi calon koruptor, kebijakan di dunia pendidikan akan terus dikuliti demi keuntungan tunggal.

Terlebih lagi, kebijakan sektor dunia pendidikan tidak akan jauh-jauh dari kebijakan politik karena harus melibatkan lembaga legislatif dan yudikatif. Itu sebabnya lembaga yudikatif dan legislatif sering kali terjebak dalam praktik korupsi pendidikan.

Tertangkapnya Bupati Cianjur, Jawa Barat, Irvan Rivano Mochtar atas dugaan menerima suap dana alokasi khusus (DAK) menjadi salah satu bukti bagaimana kepala daerah masih terjebak kilaunya dana pendidikan.

Bupati yang merupakan kader Partai Nasdem tersebut diduga memotong dana pembangunan fasilitas sekolah di kabupaten tersebut. Padahal, dana pendidikan seharusnya dikawal dengan ketat dan transparan demi menciptakan generasi yang cerdas dan andal.

Namun, ikhtiar tersebut belum mampu menyentuh hati nurani pejabat daerah seperti Bupati Cianjur. Korupsi di sektor pendidikan sebenarnya bukanlah persoalan baru dalam konteks praktik korupsi. Sudah lama sektor ini menjadi salah satu ladang basah.

Merujuk catatan Indonesian Corruption Watch, terungkap bahwa selama kurun waktu 2006-2015, ada sekitar Rp 1,3 triliun dana pendidikan yang dikorupsi. Sepanjang tahun itu pula, ada 425 kasus yang masuk kategori korupsi.

Bahkan, ada 17 objek yang menjadi sasaran korupsi. Di antaranya, sarana dan prasarana sekolah. Tingginya angka temuan tersebut mengonfirmasi bahwa negeri ini tengah didera oleh ancaman darurat korupsi pendidikan.

Sudah pasti, korupsi pendidikan mengancam eksistensi pendidikan itu sendiri. Barangkali, kemerosotan tajam mutu pendidikan dari tahun ke tahun akibat pemimpin bangsa yang tidak amanah menjalankan tugasnya. Imbasnya, dana pendidikan tersumbat dan tidak mengucur ke sekolah-sekolah. Sekolah yang semestinya dimanja oleh dana demi terciptanya generasi cemerlang, ternyata terganggu oleh praktik-praktik korupsi.

Disadari atau tidak, tingginya biaya politik untuk mengantarkan calon kepala daerah menjadi kepala daerah, merupakan salah satu penyebab korupsi. Dengan situasi seperti itu, kepala daerah berlomba-lomba mencari cara untuk menyiasati problem tersebut.

Berangkat dari melimpahnya dana APBN yang dikucurkan untuk bidang pendidikan, bukan tidak mungkin kepala daerah melakukan kongkalikong dengan pejabat pendidikan.

Bahkan, tidak jarang kepala daerah mengancam para guru tidak menaikkan jabatan atau dimutasi ke daerah yang lebih terpencil jika tidak mengikuti kemauan atasan. Inilah mengapa tidak sedikit guru yang tidak berkutik.

Korupsi yang lahir di sektor pendidikan, tidak dapat dipisahkan dari rendahnya kualitas sistem pendidikan di Tanah Air. Pendidikan karakter tidak ditransformasikan dengan baik dapat melahirkan generasi yang kehilangan integritasnya.

Tindakan korupsi bermuara pada lemahnya pendidikan karakter. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan gamblang disebutkan bahwa pendidikan membentuk generasi cerdas dan berbudi luhur.

Masifnya korupsi di bidang pendidikan mengafirmasi, generasi bangsa didorong untuk cerdas kognitif semata. Sedangkan budi luhur yang diharapkan bergandengan erat dengan kecerdasan kognitif mengalami kealpaan.

Untuk itulah, membentuk budi luhur generasi bangsa harus ditanamkan sejak dini. Ada beberapa solusi konkret mengamputasi korupsi pendidikan yang menggelisahkan. Pertama, transformasi pendidikan karakter.

Untuk membekali karakter generasi bangsa, pendidikan karakter harus ditransformasikan oleh praktisi pendidikan secara matang. Dalam artian, pendidikan karakter tidak hanya sebatas retorika yang nihil implementasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement