Kamis 20 Dec 2018 00:00 WIB

Mereka Perlu Ijazah Bukan Buku Nikah

Perkawinan usia anak akan memutuskannya dari akses pendidikan.

 Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Nur Aminah*

Ada sebuah pulau di Sulawesi Selatan, namanya Pulau Kodingareng. Pulau ini masih bagian dari salah satu kecamatan di Kota Makassar. Jarak tempuh dari Kota Makassar ke pulau ini sekitar sejam menggunakan kapal motor.

Hampir semua warga pulau itu saling mengenal. Luasnya tak sampai 9 hektare. Pulau ini cukup istimewa dengan bentangan laut membiru dan hamparan pasir putihnya. Yang hobi snorkeling, pulau ini salah satu 'potongan surganya'.

Namun satu hal lain yang membuat pulau ini cukup menonjol adalah angka pernikahan dini yang cukup tinggi. Kawan saya, yang pernah tinggal di pulau itu bercerita, masyarakat pulau ini masih teguh memegang tradisi anak yang sudah datang bulan harus segera dinikahkan.

Tradisi yang agak ekstrem tentu saja. Jika orang tua mengetahui anaknya sudah menstruasi, mereka akan segera mencarikan pasangan dan buru-buru menikahkan anak gadisnya. Kadang tak peduli, pasangan anaknya itu sudah uzur atau pemuda, duda atau jejaka, ataukah juga masih anak-anak.

Orang tua di pulau ini umumnya beranggapan anak gadis itu susah menjaga dirinya. Sampai-sampai ada yang pernah melontarkan kalimat: lebih gampang menjaga seekor sapi daripada menjaga anak gadis, sadis!

Lalu menikah pun dijadikan solusi. Meski demikian, masih ada beberapa orang tua yang cukup peduli akan kesehatan reproduksi anaknya. Setelah menikah, pengantin remaja itu kemudian diajak ke Puskesmas, menemui bidan dan memintanya memberikan kontrasepsi. Tujuannya tentu agar anaknya tak lekas hamil.

Kita patut membuka mata lebar-lebar bahwa fakta angka pernikahan anak di Indonesia masih cukup tinggi. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) menyatakan satu dari empat anak perempuan di Indonesia menikah pada usia anak atau sebelum mencapai usia 18 tahun. Tingginya angka perkawinan usia anak di Indonesia bahkan disebut sudah tahap mengkhawatirkan.

Kalau dirunut, Indonesia menempati posisi kedua di ASEAN dan ketujuh di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi. Dan dampak perkawinan anak bisa terjadi pada anak laki-laki dan perempuan. Namun posisi yang tidak menguntungkan itu lebih rentan terjadi pada anak perempuan.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalin menyebut sederet kondisi tidak menguntungkan itu antara lain putus sekolah, hamil pada usia anak yang berpotensi menyumbang terjadinya komplikasi kesehatan reproduksi. Lalu angka kematian ibu (AKI), gizi buruk, stunting, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Yang sangat disayangkan, jika akhirnya pernikahan dini itu bermuara pada perceraian dan ujung-ujungnya menimbulkan pemiskinan perempuan secara struktural. "Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan,” katanya.

Padahal coba bayangkan, jika pernikahan tidak terjadi, sang anak bisa menikmati masa anak-anak atau remajanya. Bermain, belajar, bersosialisasi, mengembangkan potensinya dan segala hal baik yang bisa jadi penunjang masa depannya. Bukan malah berkutat di dapur, mengurusi suami apalagi jika keburu hamil dan punya anak.

Perkawinan usia anak akan memutuskannya dari akses pendidikan. Hal ini akan berdampak pada masa depannya yang suram, tidak memiliki ketrampilan hidup dan kelak dia akan kesulitan mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Memang, bisa saja dia memperoleh pendidikan lanjutan melalui pendidikan non formal, namun nuansanya akan tetap berbeda.

Dari segi kesehatan pun dapat berdampak buruk karena mereka belum memiliki kesiapan organ tubuh untuk mengandung dan melahirkan. Karena hamil di usia anak akan mengganggu kesehatan bahkan dapat mengancam keselamatan jiwanya.

Sisi psikologis anak yang masih labil, belum siap menjadi seorang ibu yang mengandung, menyusui, mengasuh dan merawat anaknya, tentu akan membebaninya. Karena sesungguhnya dia pun masih butuh bimbingan dari orang tuanya.

Kondisi seperti ini, telah menghilangkan hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan, pantas saja jika Indonesia akan menuju kondisi 'Darurat Perkawinan Anak', dan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Karena itu, pihak-pihak yang telah lama berjuang untuk menekan angka perkawinan anak pantas bersyukur dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, Kamis (13/12) lalu atas pengujian Pasal 7 (1) UU Perkawinan mengenai batas usia anak. MK memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun.

Meskipun batasan usia minimal seorang perempuan ideal untuk menikah, ada beberapa pendapat, namun dengan putusan MK yang terbaru itu, usianya akan berada di atas angka 16 tahun. Memang masih lebih rendah dari yang dipatok Kementerian Agama yakni 19 tahun, atau Kementerian PPPA dan BKKBN yang menyebutkan 21 tahun.

Paling tidak, kesempatan sang anak untuk mendapatkan ijazah pendidikan setara SMA/SMK lebih berpeluang diraihnya. Karena sesungguhnya, mereka lebih pantas mengejar ijazah daripada buku nikah. Dan juga, pelaminan bukan tempat permainan.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement