Selasa 18 Dec 2018 20:33 WIB

Cerita di Balik Kamp 'Pengasingan' Muslim Uighur di Xinjiang

Salah seorang saksi mengaku merasa dicuci otaknya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Warg aetnis Uighur dengan latar patung mendiang pemimpin China Mao Zedong di  Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Warg aetnis Uighur dengan latar patung mendiang pemimpin China Mao Zedong di Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan, antara lain pabrik, gudang, dan asrama telah berdiri di Provinsi Xinjiang, Cina. Tembok tinggi dengan kawat berduri mengelilingi area tersebut dan puluhan petugas bersenjata berjaga di sekitarnya.

Pemerintah Cina menyebut kompleks tersebut sebagai pusat pelatihan kejuruan dan keterampilan. Sementara dunia internasional menganggapnya sebagai kamp interniran atau pengasingan.

Mayoritas penghuni kompleks tersebut adalah orang-orang Uighur dan Kazakh yang beragama Muslim. Mereka dipekerjakan Pemerintah Cina untuk memproduksi berbagai produk garmen, sepeti kaus dan seragam olahraga.

Gubernur Xinjiang Shohret Zahir mengatakan, orang-orang Uighur dan Kazakh yang tinggal di kompleks tersebut dibina untuk diasah keterampilannya.

"Kami akan mencoba mencapai hubungan yang mulus antara pengajaran sekolah dan pekerjaan sosial, sehingga setelah menyelesaikan program, mereka dapat menemukan pekerjaan serta kehidupan yang berkecukupan," katanya dalam sebuah wawancara dengan media Pemerintah Cina.

Baca juga, Amnesty: Muslim Uighur di Xinjiang Menderita.

Otoritas Cina mengatakan kehadiran pusat pelatihan kejuruan itu penting guna menghapus kemiskinan di Xinjiang. Mereka mengklaim bahwa para peserta telah menandatangani perjanjian untuk menerima pelatihan kejuruan.

Namun, mantan penghuni pusat pelatihan kejuruan di Xinjiang mengutarakan hal yang berbeda dengan klaim Pemerintah Cina. Mereka mengaku dipaksa untuk bekerja di pabrik tanpa diberi pilihan apa pun. Bahkan yang  memiliki keahlian khusus, dituntut untuk melakukan pekerjaan kasar.

Elyar, seorang mantan reporter televisi Xinjiang yang sempat menghuni pusat kejuruan tersebut mengungkapkan, mereka yang bekerja tak mendapat upah. "Kamp itu tidak membayar uang apa pun, tidak satu sen pun," katanya.

"Bahkan untuk kebutuhan, seperti hal untuk mandi atau tidur di malam hari, mereka akan memanggil keluarga kami di luar agar mereka membayarnya," ungkap Elyar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement