REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musisi yang juga terdakwa ujaran kebencian Ahmad Dhani mencurigai bahwa kasus hukum yang ia hadapi bernuansa politis. Hal itu diungkapkan Dhani dalam nota pembelaan (pledoi) pribadinya di hadapan majelis hakim pimpinan Ratmoho dan penutut umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Dalam pledoi-nya yang diberi judul "Indonesia di Persimpangan Jalan antara Negara Demokrasi dan menjadi Negara Penista Agama'" Ahmad Dhani mengungkap alasan di balik kecurigaannya itu.
"Polisi atau penyidik meminta maaf (kepada saya, dan mengatakan) dia hanya melakukan tugas dari atasan," demikian pengakuan Ahmad Dhani dalam pledoi-nya.
Menurut Ahmad Dhani saat ditemui usai persidangan, "oknum" polisi tersebut menyatakan pula permintaan maafnya.
Baca juga, Ahmad Dhani Tanggapi Status Tersangkanya.
Ia mengungkapkan seorang "oknum" jaksa juga turut meminta maaf, seraya mengaku bahwa kasus ujaran kebencian Ahmad Dhani dilatari kepentingan politis.
Walau demikian, Ahmad Dhani menolak menyebut nama polisi dan jaksa yang ia sebut dalam pledoi-nya."Tidak bisa saya sebut, itu rahasia," kata Ahmad Dhani bersama penasihat hukumnya, Hendarsam Marantoko saat ditemui usai persidangan.
Terkait pledoi Ahmad Dhani itu, hingga saat ini pihak kepolisian dan kejaksaan belum dapat dihubungi untuk dimintai konfirmasi.
Alasan terakhir, Ahmad Dhani menyebut bahwa salah satu ahli ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang ikut menyusun terbentuknya Undang-Undang ITE menjelaskan, apabila tidak ada subjek hukum yang jelas, maka suatu perbuatan tidak dapat dianggap sebagai kasus hukum. "Bukan kami menggurui majelis hakim," sebut Ahmad Dhani dalam pledoi-nya.
Ahmad Dhani tiba di PN Jakarta Selatan didampingi oleh tim kuasa hukumnya dan Wakil Ketua DPR yang juga politisi Partai Gerindra Fadli Zon.
Fadli mengaku kehadiran ia pada sidang tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap Ahmad Dhani. Menurut Politisi Partai Gerindra itu, kasus hukum yang dialami musisi tersebut merupakan upaya "mengadili akal sehat" dan "mengancam demokrasi".