Senin 17 Dec 2018 19:18 WIB

KPK: Banyak Perusahaan Jalankan Praktik Bisnis Curang

Beberapa perusahaan telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi dan TPPU.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Andri Saubani
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat di wawancarai Republika, Jakarta, Senin (10/12).
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif saat di wawancarai Republika, Jakarta, Senin (10/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, banyak perusahaan di Indonesia menjalankan praktik bisnis secara curang. Beberapa korporasi yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK di antaranya PT Duta Graha Indah yang telah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring, PT Nindya Karya (Persero), PT Tuah Sejati dan PT Tradha yang dijerat pidana TPPU.

Penetapan korporasi sebagai tersangka korupsi ini berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. "Banyak sekali perusahaan yang menipu. Contoh ada (orang dari) BUMN yang sudah kita tetapkan tersangka," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Senin (17/12).

Syarif mengatakan, dari temuan kasus korupsi yang ditangani KPK banyak yang terkait dengan kepentingan perusahaan atau korporasi. Ia pun mencontohkan kasus korupsi proyek KTP-elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.  Menurut Syarif, dari contoh kasus korupsi proyek KTP-el meskipun sudah menetapkan banyak tersangka namun masih belum bisa mengembalikan kerugian negara lantaran adanya perbuatan pengurus korporasi.

"Kalau hukum orangnya paling kejar uang pengganti, tapi sebagian sudah bagian korporasi, termasuk tindak pidana lain. Jadi saya pikir kita akan tetap (mengusut tanggung jawab korporasi)," tuturnya.

Kemudian, banyak juga pengusaha yang menjadikan perusahaan sebagai tameng untuk melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu contohnya adalah membuat perusahaan fiktif seperti yang dilakukan Nazaruddin ataupun Setya Novanto.

Menurut Syarif, tak bisa dipungkiri korporasi banyak digunakan sebagai alat menyembunyikan korupsi. Bahkan, hampir 80 persen kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan perusahaan. Tak sampai di situ, kata Syarif, sekitar 200 orang pihak swasta, mulai dari pimpinan perusahaan hingga level bawah, telah dijerat KPK sejak 2004 sampai hari ini.

Syarif menerangkan, suatu perusahaan atau korporasi bisa dijerat tersangka korupsi dengan melihat beberapa hal. Pertama apakah perusahaan itu pertama kali terlibat korupsi atau tidak. Kedua seberapa sering perusahaan itu melakukan korupsi atau suap. Ketiga apakah dampak dari korupsi perusahaan itu besar bagi lingkungan sekitar atau tidak.

"Yang terakhir tentunya apakah di perusahaan itu ada komitmen atasanan, ada peraturan internal yang melarang terjadinya penyuapan dan lain-lain," ujarnya.

Ia pun menegaskan, adanya aturan menjerat korporasi bukanlah untuk merusak korporasi tersebut. KPK, kata Syarif, hanya ingin agar perusahaan yang berkembang di Indonesia bisa bersaing di kancah internasional.

Ia juga meminta semua pimpinan korporasi melaksanakan komitmen antikorupsi di perusahaannya. Diketahui, KPK sudah meluncurkan panduan korporasi  berisi langkah-langkah pencegahan korupsi yang dirancang bersifat sederhana dan praktis sehingga dapat menjadi acuan dan pedoman minimum bagi korporasi yang dapat diadopsi serta dikembangkan sesuai kebutuhan korporasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement