REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Konsul Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Surabaya Gu Jingqi menyatakan permasalahan yang terjadi dan dialami oleh suku Uighur di Provinsi Xinjiang, China, merupakan persoalan separatis dari sebagian kecil warga setempat yang menganut paham radikal. Mereka ingin merdeka dan berpisah dari RRT.
"Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar 10 juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari RRT. Itu yang kami, pemerintah RRT atasi," kata Gu Jingqi saat menghadiri peringatan HUT Ke-81 LKBN Antara, di Surabaya, Jatim, Kamis (13/12).
Ia menjelaskan, mereka yang berpikiran radikal hingga menganut separatisme mempunyai pedoman bahwa 'perjuangan mereka benar'. Dengan demikian, kalaupun nyawa menjadi taruhannya tidak menjadi masalah, karena akan 'masuk surga' (jihad).
"Seperti halnya mereka yang berpaham radikal di Indonesia, hingga menjadi ekstremis menghalalkan berbagai cara agar 'masuk surga' (jihad). Tentunya pemerintah manapun harus mengatasi masalah tersebut, demi keutuhan persatuan negaranya," ucap Jingqi yang pernah bertugas di Istanbul, Turki, ini.
Konstitusi RRT sangat menghormati dan melindungi umat beragama serta keberagaman warganya. Umat Islam di China bebas menjalankan ibadah.
Bahkan, menurut dia, di Provinsi Xinjiang yang mayoritas penduduknya beragama Islam diberi keistimewaan dalam hal pendidikan dibanding provinsi lain di China. "Ada kebijakan bagi warga Xinjiang dalam pendidikan selama 12 tahun (hingga SMA) gratis, sementara di provinsi lain yang ditanggung gratis oleh pemerintah hanya 9 tahun (SMP). Di China rata-rata setiap 500 orang Muslim memiliki satu masjid," ujarnya.
Konjen mengemukakan dalam hal kerukunan umat beragama dan keragaman yang terjadi di Indonesia sangat dipuji dan diakui dunia. "Dalam hal kerukunan dan keberagaman hidup harmonis antarwarga yang berbeda agama dan suku seperti di Indonesia inilah yang menjadi inspirasi kami (RRT). Indonesia bisa, tentunya kami juga bisa," ujarnya.
Menurut dia, muslim di RRT sebanyak 23 juta jiwa yang merupakan warga minoritas. Namun, Pemerintah RRT memperlakukan warga semua sama.
Walau minoritas, ia mengatakan, Pemerintah RRT tidak membatasi Muslim menjalankan ibadaha. Mereka bebas menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka.
"Anda (jurnalis) sudah ke China dan tahu langsung kehidupan umat beragama, khususnya muslim di China. Mereka kan bebas tidak kami larang dalam beribadah, tapi kalau ada sebagian kecil yang ekstrem dan berupaya memisahkan diri, tentunya ya kami tindak. Indonesia juga tentunya bertindak serupa bila ada sebagian kecil warganya seperti itu (separatis, radikal)," demikian Konjen Gu Jingqi.